jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR M Hidayat Nur Wahid menilai ada hal yang tidak lazim dalam aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan mayoritas fraksi di Baleg maupun Rapat Paripurna (Rapur) DPR.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS yang karib disapa HNW itu menyoroti, saat pengambilan keputusan tingkat I di Baleg dan tingkat II di rapur, draf utuh dan final RUU belum dibagikan ke semua fraksi.
BACA JUGA: Kecewa RUU Cipta Kerja Disahkan, Melanie Subono: Hai Para Pengkhianat, Tidur Tenang Semalam?
Namun, kata dia, anehnya semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Meskipun saat pengambilan keputusan di Baleg, FPKS dan Fraksi Demokrat (FPD) menolak untuk meneruskan ke rapur, tetap saja RUU itu diteruskan untuk dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat II.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR: Pemerintah Harus Mengevaluasi Pengesahan RUU Cipta Kerja
Namun, kata dia, lagi-lagi tidak ada draf akhir Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dibagikan sebelumnya kepada setiap fraksi maupun anggota DPR.
“Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi dipaksa untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat paripurna, tetapi draf secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu," kata HNW dalam siaran persnya, Rabu (7/10).
BACA JUGA: Uji Materi ke MK Menjadi Jalan Tepat Bagi Penolak RUU Cipta Kerja
Menurut HNW, karena begitu terburu-burunya jadwal pengesahan RUU dalam Rapur DPR pun mendadak dimajukan dari tanggal 8 menjadi 5 Oktober.
"Ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa di balik ini semuanya?” lanjut HNW.
Menurut HNW, oleh karena tidak terpenuhinya asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal itu, wajar sikap beberapa fraksi, seperti FPKS dan FPD yang menolak melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke rapur.
Ketika dibawa juga ke rapur, lanjut dia, wajar bila FPKS dan FPD menolak menyetujui RUU itu menjadi UU Cipta Kerja.
Lebih lanjut, HNW menuturkan konstitusi menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR.
Menurut HNW, seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU.
"Termasuk menerima draf utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir. Dan itu yang sudah menjadi konvensi di DPR,” tuturnya.
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan RUU adalah setiap fraksi dikirimi draf naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
Sehingga, lanjut dia, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat I maupun pada tingkat II dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.
“Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa pada pengambilan keputusan tingkat I terdapat ada acara pembacaan naskah akhir RUU dan penandatanganan naskah RUU.
Selanjutnya, dari segi substansi, HNW menuturkan banyak substansi dalam RUU itu yang bermasalah, terutama terkait isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama RUU ini.
“Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh pemerintah,” tukasnya.
HNW menilai RUU ini sangat condong kepada investasi asing dan banyak merugikan kepentingan kaum pekerja dari warga negara Indonesia, terutama para pekerja atau buruh.
“RUU ini tidak melaksanakan perintah pembukaan UUD NRI 1945, agar negara memprioritaskan melindungi tumpah darah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
HNW juga menilai bahwa RUU Ciptaker ini tidak memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari prinsip negara hukum yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Ia menyebut awalnya RUU Ciptaker ini dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan peraturan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Namun disayangkan sekali, RUU tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, karena RUU ini justru mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga membuat peraturan tidak menjadi sederhana, dan penuh spekulasi politik. Kata putusnya tergantung kepada pemeintah pemilik kekuasaan politik. Suatu hal yang tak sesuai dengan prinsip negara hukum di negara demokratis seperti Indonesia,” katanya.
HNW sangat menyayangkan sekalipun masih terdapat banyak masalah dan masifnya penolakan yang disampaikan oleh banyak elemen bangsa, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, Kongres Umat Islam ke VII, serikat pekera, para pakar, organisasi buruh, dan aspirasi konstituen, RUU tersebut tetap diambil keputusan akhir dalam rapur DPR.
Apalagi, lanjut HNW, hingga saat rapur selesai, bahkan hingga saat ini belum ada naskah UU Ciptaker resmi yang disampaikan ke fraksi-fraksi dan ke publik.
Ia mengkhawatirkan hal itu justru akan menambah persoalan karena ada potensi bahwa draf akhir RUU tersebut berbeda dengan yang disepakati di panja, karena tidak ada akses bagi anggota DPR maupun publik untuk membaca draf RUU itu secara utuh.
Karena itu, HNW mendukung bila Presiden Jokowi mempertimbangkan serius masalah ini, apalagi darurat kesehatan akibat pandemi corona juga belum tampak kapan akan melandai.
Sangat bijak bila Presiden Jokowi mempergunakan kewenangan konstitusionalnya untuk mengakhiri polemik dan menyelamatkan bangsa dan negara dari kegaduhan, dengan segera menerbitkan perppu mencabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja, agar semuanya dikembalikan ke UU existing saja.
Apabila langkah itu tidak diambil Presiden Jokowi, HNW mendukung bila warga Indonesia baik dari serikat pekerja atau organisasi buruh, organisasi profesi, LSM, ormas maupun individu yang dirugikan oleh diundangkannya UU Cipta Kerja itu, untuk mempergunakan hak konstitusionalnya dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Dan hendaknya MK betul-betul melaksanakan kewajibannya dengan adil dan benar, demi terselamatkannya NKRI sebagai negara Pancasila dan negara Hukum,” pungkas HNW. (boy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Boy