jpnn.com, JAKARTA - Solusi untuk menyelesaikan masalah setelah Kongres VII Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) terus dicari.
Salah satunya melalui diskusi bertajuk Mengurai Masalah Kongres VII IPPAT untuk Menemukan Solusi Bersama Menuju IPPAT Tanpa Kisruh yang digelar Forum Kajian Hukum & Demokrasi (FKHD) di Jakarta, Minggu (18/11).
BACA JUGA: Hampir 1 Bulan, Wakil Ketua DPR Dijabat Tersangka Korupsi
Perwakilan dari kedua belah pihak turut menghadiri diskusi itu. Di antaranya, Ketua Umum PP IPPAT 2015-2018 Syafran Sofyan dan Firdhonal dari perwakilan turut tergugat IPPAT.
“Saya masih ingat betul pada saat kongres di Makassar bagaimana agar pelaksanaan ini dapat terlaksana secara kondusif dan dilaksanakan secara kondusif dan transparan,” ujar Syafran.
BACA JUGA: Infografis: Ini Bahaya Merkuri Bagi Kehidupan dan Lingkungan
Syafran mengakui ada isu-isu terkait pelaksanaan Kongres VII IPPAT di Makasar. Menurutnya, kongres merupakan suatu keputusan tertinggi dalam organisasi.
Namun, apabila terdapat konflik yang tidak dapat diselesaikan, maka bisa berlanjut ke pengadilan.
BACA JUGA: Lantik DPD Barnus Sumut, Kiai Maruf Bahas Soal Buta & Tuli
Secara tidak langsung Syafran bisa memahami dan menerima langkah para anggota IPPAT yang membawa persoalan pasca-Kongres VII IPPAT ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
“Kalau saya analogikan dalam mekanisme pemilihan umum, bagaimana daftar pemilih dapat diverifikasi untuk dapat dilaksanakan oleh pihak penyelenggara pemilihan, artinya pemilih yang mengikuti kongres harus ditetapkan dahulu,” terang Alvon Kurnia Palma selaku kuasa hukum penggugat.
Dia menambahkan, Kongres VII IPPAT di Makasar mendapat banyak kritik karena terkesan militeristik.
“Senjata laras panjang masuk ke forum dengan posisi siap ditembakkan,” imbuh Alvon.
Firdhonal sebagai salah satu pihak turut tergugat mengatakan, aturan main pelaksanaan kongres adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPPAT.
Menurutnya, kongres bisa dilaksanakan tanpa adanya kecurangan yang merugikan peserta lain.
“Faktanya surat suara sudah cacat hukum. Ada surat suara yang dibuat di Jakarta ada yang dibuat di Makasar,” kata Fidhonal.
Di sisi lain, pengamat hukum dan kelembagaan publik Harli Muin menekankan pentingnya proses nonlitigasi.
Menurut dia, yang paling penting untuk membuka jalan bagi penyelesaian adalah kemauan untuk menyelesaikan perkara.
“Pertanyaannya, apakah para pihak bisa menciptakan kondisi lingkungan yang menjamin penyelesaian yang fair sehingga bisa mengembangkan dan mengusulkan solusinya masing-masing?” kata Harli. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keharmonisan DPRD-Kepala Daerah Perkuat Green Leadership
Redaktur & Reporter : Ragil