DATANG ke Indonesia sebagai turis biasa 30 tahun silam, Horvath Pilz Eva Gertraud mendadak terpikat budaya Jawa. Layaknya wisatawan, kala itu warga negara Austria tersebut disuguhi tontoan kesenian asli Indonesia seperti wayang kulit. Tapi, siapa sangka, gara-gara itu Eva malah enggan balik ke negaranya.
--------
Tri Wahyu Cahyono, Solo
--------
"Monggo mlebet, lenggah mriki (Mari masuk, silakan duduk di sini, Red)," ujar Eva sambil menyibak untaian manik-manik yang dipasang di daun pintu kepada Jawa Pos Radar Solo yang berkunjung ke kediamannya Sabtu lalu (29/12).
Ruangan, atau lebih tepatnya disebut kamar, sederhana yang dia tempati lebih dari 20 tahun itu hanya berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi. Tak ada televisi atau pendingin ruangan. Hanya ada kipas angin warna putih yang sudah berdebu diletakkan di bawah tempat tidur. Tapi, sentuhan budaya Jawa sangat kental di kamar yang menjadi bagian Ndalem Mlayakusuman atau masih satu kawasan dengan Keraton Kasunanan Surakarta itu.
Hampir di seluruh sudut ruangan dipasang gambar tokoh pewayangan. Misalnya, Semar, Rama, Krisna, dan Hanoman. Tak ketinggalan satu lemari kecil tempat menyimpan buku sejarah, buku berbahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.
Secara fisik, Eva sudah menurun. Untuk berjalan, dia agak sulit karena mengalami pegal-pegal di bagian pinggul. Namun, pendengaran, penglihatan, ingatan, dan gaya bicara perempuan kelahiran 6 Juli 1938 itu masih sempurna. "Kok tahu saya di sini dari siapa," tanyanya. Setelah dijelaskan maksud kedatangan Jawa Pos Radar Solo, Eva antusias me-rewind memorinya.
Dia menuturkan, kali pertama datang di Indonesia pada 1982 saat liburan. Kala itu, Eva menyaksikan langsung kekayaan alam dan budaya Indonesia. Termasuk pementasan wayang kulit. "Itu pertama saya melihat wayang kulit. Tidak tahu bahasanya, tapi mengerti gerakannya. Saya tertarik dan terus menonton dari malam sampai pagi," kata perempuan yang kini tinggal sebatang kara di Solo itu.
Sayangnya, jatah liburan selama dua bulan di Indonesia habis. Eva pun harus kembali ke negaranya. Namun, setahun di Austria Eva merasa tidak betah. Menurut dia, "Jawa" telah merasuki jiwanya.
"Tuhan yang membawa saya kembali ke Jawa. Di sini (Jawa), sopan santun, penuh kerendahan hati, tolong-menolong, saling menghormati, dan kepercayaan kepada Tuhan sangat kuat," bebernya.
Sebelum bercerita banyak tentang kehidupannya di Jawa, khususnya di Solo, perempuan 74 tahun itu mengisahkan perjalanan hidupnya selama di Austria. Pada masa muda, Eva pernah menjadi aktris film, teater, komedian, dan kerap tampil di TV. Profesi itu dia geluti selama 20 tahun.
Meski menjadi selebriti, Eva menampik kehidupannya sangat glamor. "Tidak banyak uang. Kerja keras sekali. Tiap malam main teater. Satu tahun hanya libur dua kali, saat Natal dan Paskah. Tapi, itu (honor aktris) cukup untuk hidup dan dibagikan kepada teman atau orang yang membutuhkan," tuturnya. Sedangkan, kehidupan pribadinya kurang beruntung karena harus bercerai dengan sang suami.
Keteguhan Eva untuk kembali ke Jawa tak bisa dicegah oleh sang bunda Margit Pilz. Meskipun pada awalnya merasa khawatir si sulung dua bersaudara itu tinggal sendirian di Jawa, akhirnya Margit merestui. Sebelum meninggal, sekitar 1995"1996 sang bunda menjelaskan kepada kerabatnya bahwa Eva tidak cocok tinggal di Austria dan lebih betah di Jawa. "Itu dikatakan Ibu saat saya sungkem. Saya nggak menyangka itu sungkem yang terakhir," kenangnya.
Setelah kembali ke Jawa, Eva dipertemukan dengan Harjanto Projo Pangarso yang disebutnya sebagai mahaguru yoga dan tempatnya belajar budaya Jawa. Kepada Harjanto-lah, Eva menimba ilmu tentang budaya Jawa sepenuhnya. Setelah Harjanto meninggal, Eva diizinkan untuk menempati Dalem Mlayakusuman yang berada di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta hingga sekarang.
Tekadnya mempelajari budaya Jawa memang luar biasa. Untuk bisa membaca dan menulis aksara Jawa, Eva rela belajar bersama anak-anak SD di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Dia juga ikut kursus pambirawa atau soal tata cara upacara adat Jawa, sesaji, wilujengan, dan upacara adat yang lain di Keraton Kasunanan Surakarta.
"Waktu masih kuat berjalan, saya kerap membaca buku-buku di perpustakaan keraton dan diajari langsung oleh Gusti Puger, Gusti Moeng (keduanya putra-putri Paku Buwono XII), dan gusti-gusti lainnya," jelasnya.
Eva yang mengenakan kemeja lengan panjang warna hitam itu mengatakan tidak mudah mempelajari bahasa Jawa karena ada tingkatannya. Yakni, ngoko, krama, dan krama inggil. Masih ada pula bahasa Jawa kuno. "Kula sagete sekedhik-sekedhik. Lidah kula dereng Jawi (Saya bisa sedikit-sedikit. Lidah saya belum seperti orang Jawa)," katanya, lantas tertawa kecil.
Walau begitu, dia tak melupakan bahasa yang digunakan di negaranya, yaitu bahasa Jerman. Caranya, tetap membaca buku-buku berbahasa asing. Karena itu, lemarinya di kamar disesaki buku berbahasa Jerman, Inggris, dan Prancis.
Dia sangat mengapresiasi sikap para sentana Keraton Kasunanan yang memberinya bimbingan dan kesempatan belajar budaya Jawa secara gratis. "Saya mendapat pengajaran yang luar biasa. Saya tidak mikir akan diberi gelar dan sebagainya. Sudah bisa diterima saja saya sangat berterima kasih," ucapnya.
Mengapa sangat tertarik budaya Jawa? Eva menegaskan, budaya Jawa memiliki tataran tinggi yang tak ditemui di budaya lainnya. Misalnya, adanya tatanan yang mengatur hubungan antara Tuhan dan manusia serta pentingnya menjalin kebersamaan antarsesama manusia.
Contohnya, saat peringatan malam 1 Sura, tidak sedikit orang Jawa yang melakukan tapa brata selama sebulan penuh. Diungkapkan Eva, tapa brata itu adalah sebagai sarana penyucian diri dan sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta.
Semangat Eva mendalami budaya Jawa mendapat perhatian khusus dari Paguyuban Tridarmo Mangkunegaran Solo dengan menganugerahinya nama Nyi Idayu Hananingtyas. Dan tak terasa, sudah hampir tiga puluh tahun Eva mendalami budaya Jawa dan tinggal di lingkungan kompleks Keraton Kasunanan Surakarta.
Menjalani hari-hari di Dalem Mlayakusuman, Eva hidup seorang diri secara sederhana. Untuk kebutuhan keuangan, perempuan murah senyum itu hanya mengandalkan kiriman uang setiap bulan dari keluarganya di Austria. Kondisi seperti itu tak membuat Eva nelangsa. Sebab, dia merasa selalu dikelilingi orang-orang Jawa berbudi luhur.
"Pak Sunar yang jualan di dekat sini selalu memberi saya makanan dua kali sehari. Hujan-hujan juga diantar. Dia bilang, kalau saya sendiri dan tidak ada makanan, hatinya (Pak Sunar, Red) tidak tenang. Itu anugerah untuk saya. Tetangga begitu bagus gotong royongnya. Semua seperti keluarga," tuturnya.
Dia mengaku trenyuh melihat generasi muda yang tak begitu mengenal budaya sendiri. "Meninggalkan budaya itu tidak baik. Sebab, materialisme dari Barat tidak baik untuk hidup, egois. Yang penting tolong-menolong, pikirkan orang lain sebelum memikirkan diri sendiri. Ingat dan selalu melaksanakan perintah Tuhan," bebernya.
Eva berharap, hingga akhir hayatnya bisa mempelajari budaya Jawa. Sebab, jika budaya Jawa bisa disebarkan ke seluruh dunia, dia optimistis dunia akan damai dan sejahtera. (*/c4/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahi Lebar Menjanjikan, Tahi Lalat Tentukan Karir
Redaktur : Tim Redaksi