Hujan Buatan Berhasil, Pemerintah Tetap Antisipasi Karhutla

Jumat, 27 September 2019 – 13:00 WIB
Manggala Agni bersama TNI- Polri padamkan Karhutla. Foto dok humas KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Upaya menanggulangi asap akibat kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan pemerintah. Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) telah dilakukan di sejumlah daerah rawan karhutla.

Sejauh ini, kegiatan rekayasa cuaca dilakukan di Provinsi Riau yang menjangkau wilayah Jambi, hingga 25 September 2019 operasi telah dilakukan dengan total sebanyak 20 sorti yang menghasilkan jumlah air hujan sebanyak 259 juta m³.

BACA JUGA: BMKG Perkirakan Kalteng Berpotensi Hujan Sepekan, Bisa Usir Asap Karhutla

Sementara itu, di Provinsi Sumatera Selatan Operasi TMC dilakukan 24-25 September 2019 dengan hasil air 30 juta m³.

Di Provinsi Kalimantan Barat, operasi dilakukan dengan hasil 86 juta m³ air, dengan 10 kali sorti.

BACA JUGA: Jokowi Minta Pertimbangan Soal Perppu KPK ke Relawan, nih Hasilnya

Untuk pertumbuhan awan hujan, lebih berpotensi didapati di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan untuk wilayah yang masih sangat perlu diwaspadai adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.

Dalam pertemuan dengan media hari ini Kamis, (26/9), Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Doni Munardo, dalam paparannya menyampaikan bahwa, tahun 2019 ini memang merupakan tahun yang kondisinya mirip dengan tahun 2015 lalu, dengan jangka kemarau yang lebih panjang.

Tahun ini menurut data SIPONGI KLHK (www.sipongi.menlhk.go.id) memang terdapat kenaikan jumlah titik panas sebesar 89,75% atau sebanyak 3.355 titik bila dibanding tahun 2018. Namun, jumlah ini masih lebih kecil bila dibanding tahun 2015 lalu.

Doni kemudian menjelaskan bahwa karhutla di Indonesia merupakan ancaman permanen, solusinya pun perlu bersifat permanen, sosialisasi terpadu pentahelix telah dilakukan sejak Februari, dan ini perlu kerja sama dengan berbagai pihak, terutama pemerintah daerah.

Upaya antisipasi yang perlu dilakukan saat ini adalah pembangunan sekat kanal, sehingga lahan gambut basah sepanjang tahun, dan hal ini perlu dilakukan sebelum musim hujan terjadi.

Beberapa wilayah di Indonesia memang mengalami 60 hari tanpa hujan, yang mengakibatkan permukaan air di kawasan gambut sangat kering sampai 2 meter dari permukaan tanah.

Padahal lahan gambut yang merupakan kawasan rawa ini, seharusnya tidak boleh kering, kenyataanya hampir semua daerah mengalami pengurangan debit air, karena kemarau yang sangat panjang.

Hal selanjutnya kedua yang menjadi penyebab mudahnya gambut terbakar, adalah gambut merupakan fosil batubara muda yang bilamana dalam keadaan kering, bila dibakar maka menjadi bahan bakar yang baik untuk membakar kawasan.

“Berdasarkan interpretasi citra landsat, luas indikatif sampai dengan Agustus 2019 lahan yang terbakar seluas 328.724 Ha, yang terdiri di lahan gambut 86.563 Ha, dan lahan mineral seluas 239.161 Ha," ujar Plt. Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raflles B. Panjaitan.

“Usaha Operasi TMC Karhutla yang dilakukan di wilayah Sumatera dan Kalimantan dari 17 hingga 25 September 2019 ini telah membuahkan hasil," ujar Deputi bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Yudi Anantasena.

Lebih lanjut Yudi menjelaskan selama dasarian ketiga September 2019 diproyeksikan menghasilkan curah hujan sekitar 50-100 mm di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Deputi Bidang Meteorologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Mulyono R. Prabowo menyampaikan, “Diketahui keputusan untuk melakukan modifikasi cuaca, diputuskan setelah Presiden melakukan kunjungan kerjanya ke Provinsi Riau pada medio 16 September 2019 lalu.

Dalam proses modifikasi cuaca, BPPT mengambil data dari BMKG untuk menentukan daerah-daerah mana yang awannya siap disemai.

Persemaian awan memang memerlukan waktu yang tepat. Dengan kondisi kemarau yang cukup panjang ini, minggu terakhir bulan ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan modifikasi cuaca, karena masih dalam kondisi kemarau, tetapi telah menuju musim penghujan.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler