Hukum Besi Oligarki: Koalisi Parpol Pemilu 2024

Oleh: Girindra Sandino, Eksekutif Caretaker KIPP Indonesia

Rabu, 24 Agustus 2022 – 05:05 WIB
Eksekutif Caretaker KIPP Indonesia Girindra Sandino. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - "Setiap kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas basis demokratis” (Robert Michels: Political Party, 1958).

Pendaftaran partai politik untuk menjadi peserta pemilu sebagai tahapan awal penyelenggaraan Pemilu 2024 baru saja ditutup, 14 Agustus 2022.

BACA JUGA: Ketika Bu Mega Mengumumkan Capres PDIP, Koalisi Goyang atau Bersatu?

Sebanyak 40 parpol mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, hanya 24 parpol yang dinyatakan memenuhi berkas dan dokumen persyaratan yang lengkap dan lolos ke tahap verifikasi administrasi.

Manuver Politik Parpol untuk Berkoalisi

BACA JUGA: Pengamat: Penting KIB Membangun Koalisi Besar untuk Stabilitas Pemerintahan

Di awal tahapan pemilu, Golkar, PAN, dan PPP resmi menggagas Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Kemudian disusul oleh oleh Partai Gerindra makin agresif untuk bisa menggandeng PKB dengan nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR).

Sementara di sisi lain Nasdem, Demokrat, dan PKS, sedang menjalani manuver politik untuk berkoalisi untuk menghadapi parpol-parpol yang sudah makin matang untuk berkoalisi menghadapi pemilu 2024.

BACA JUGA: Mas Ibas Yakin Koalisi Kecil Tak Akan Menang, Demokrat Pasti Dapat Rekan

Namun, PDIP, terlihat santai-santai saja mengingat sebagai parpol penguasa meraih suara 27.053.961 (19,33 persen), dengan jumlah kursi yang dimiliki di parlemen sebanyak 128 kursi, sehingga PDIP bisa berjalan sendiri tanpa harus mengganeng parpol lain.

Akan tetapi, demi stabilitas jalannya pemerintahan ke depan, mau tidak mau PDIP harus mengambil langkah bergabung dengan parpol-parpol besar, agar pemerintahan dan dalam penggodokan Undang-Undang berjalan lancar.

Sangat menarik dan fenomenal untuk disimak adalah koalisi Gerindra dan PKB.

Gerindra dalam pemilu 2019 kemarin meraih 17.594.839 (12,57 persen) suara, 78 kursi. Sementara PKB PKB 58 kursi dengan jumlah suara  13.570.970 (9,69 persen). Artinya koalisi ini sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presieden di Pemilu 2024.

Kemudian mengapa Gerindra memilih PKB sebagai mitra koalisi politik, karena fakta politik elektoral sejarah Gerindra dari pemilu-pemilu sebelumnya selalu menggandeng kalangan Islam garis keras, dimana tidak sesuai kultur bangsa Indonesia.

Menurut Hantington (2000) ”Identitas-identitas yang sebelumnya memiliki keserberagaman dan hubungan kausal menjadi terfokus dan mapan, konflik-konflik komunal biasanya disebut perang identitas.

Memang teori Samuel Huntington tersebut telah menjadi gelombang dan momok yang nyata kebangkitan politik identitas. Sebut saja, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, yang memenangkan pemilu dengan mengandalkan sentiment Ras dan pribumi.

Jair Bolsonaro, politikus sayap kanan Brasil yang memenangkan pemilu, Rodrigo Duterte yang kerap menyatakan pendapat-pendapat kontroversial dan keresahan berhasil menang dalam pemilu Filipina.

Kemudian Giuseppe Conte (Five stars), gerakan populisme yang meraih kemenangan pemilu Italia, 2018 lalu.

Dengan demikian, dalam hal koalisi politik yang sedang dibangun saat ini, Indonesian Democratic (IDE) Center memiliki pandangan sebagai berikut:

Pertama, Koalisi Gerindra dan PKB yang dibangun adalah langkah yang tepat, bahkan bisa meraih kemenangan melawan partai Penguasa yaki PDIP dan sekutuya nanti.

Seperti diketahui Perolehan suara PKB berhasil meningkat menjadi 11,29 juta suara (9,04%) pada Pemilu 2014.

Jumlah tersebut kembali bertambah menjadi 13,57 juta suara (9,69%) suara sah nasional pada Pemilu 2019.

Dengan naiknya perolehan suara, jumlah anggota DPR dari PKB juga bertambah menjadi 58 orang (10,09%) dari total 575 orang untuk periode 2019-2024.

Kedua, Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengampanyekan pentingnya rasa persatuan.

Sebut saja Ormas keagamaan Seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya.

Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuaantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, karena inklusivisme antargolongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya (cultural blocks) antargolongan.

Keempat, dan yang terpenting Prabowo sepertinya menghindar dari kelompok-kelompok islam garis kera yang selalu membuat ujaran dan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyarakat mKelimaenjadi takut dan resah.

Dan, dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan pada saat dimana pasangan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik.

Sebab saat ini masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih pemimpin, termasuk siapa pendukungnya. Isu agama sangat sedikit korelasinya dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandi saat pemiu 2019.

Kelima, pertemuan para elite politik belakangan seperti Surya Paloh, Nasdem bertemu Puan ini tidak lepas dari kondisi perpolitikan yang ada.

Bahwa Indonesia menganut pola pembentukan grand coalition, sebagaimana istilah literatur ilmu politik yang digagas Arend Lipjhart.

“Artinya, koalisi yang dibentuk melibatkan banyak partai di parlemen. Ini yang terbaca dari manuver elite politik saat ini. Walau banyak penentangan di internal koalisi. Karena hampir dipastian untuk membentuk pemerintahan yang kuat diperukan koalisi Grand Coalition, bisa jadi yang paling rajin menjalani komunikasi poliitik lah Koalisi Ingkit (KIB), yang akan diikuti parpol-parpol lain.

Keenam, Koalisi yang saat ini dibangun lebih cenderung kepada koalisi taktis dan koalisi strategis.

Koalisi taktis dibangun untuk tidak memenuhi kepentingan visi dan ideologi parpol yang bergabung dan tidak berdasarkan pada keseimbangan sehinga dominasi kekuasaan berada dan ditentukan oleh parpol besar sehingga motivasi koalisi sangat pragmatis.

Sementara sebaliknya, koalisi strtegis dibangun untuk pemenuhan kepentinga visi dan ideologi parpol, dengan maksud membentuk pemerintahan yang kuat dan tahan lama serta membagi kekuasaan yang adil dan demokratis.

Keenam, adalah berlakunya hukum besi oligarki, yang harus dihindari dan diawasi bersama-sama oleh kekuatan masyarakat sipil dan kekuatan pers esbagai salah satu pilar dari demokraasi.

“Setiap kepartaian mewakili kekuatan oligarkis yang didasarkan atas basis demokratis” (Robert Michels: Political Party, 1958).

Menurut Robert Michels, penyebab  utama dalam partai-partai oligarkis adalah kebutuhan teknis yang menesak kepemimpinan. Kemudian Robert juga menerangan bahwa hukum sosiologis dari partai-partai politik, “hukum besi oligarki” dengan ungkapannya bahwa “ adalah organisasi yang melahirkan dominasi oleh golongan trepilih atas pemilih.

Masih menurut Robert Michels organisasi kepartaian mengetengahkan suatu kekuatan oligarkis yang didasarkan pada basis demokratis. Dimana-mana ditemukan yang hampir tak terbatas dari para pemimpin yang dipiih atas massa pemilih, di sini struktur oligarkis telah mencekik prinsip dasar demokratis, penindasan seolah-olah suatu keharusan.

Sistem kepartaian kita yang menganut sistem multipartai syarat akan penerapan hukum besi oligarkis.

Dengan demikian, seolah-olah koalisi parpol dengan banguan kesepakatan demokratis, namun tetap papol besar mendominasi struktur politik yang cenderung melekat dan menerapkan hukum besi oligarki, karena basis dasarnya adalah ego politik pemimpin yang dipilih atas nama masa pemilih.

Hal ini bisa menyebabkan dalam parlemen apa yang disebut “Fragile Coalition”, kolaisi dalam parlemen yang mudah pecah dalam pengamblan keputusan

Bahwa memang hukum besi oligarkis tidak bisa dinafikan. Namun, hal tersebut bisa diatasi setidaknya dapat diminimalisasi dengan pengawasan ketat masyarakat sipil.

Selain itu, membuat aturan tegas dalam parlemen seperti merevisi UU MD3, menjadikan insan media atau pers sebagai ujung tombak, menggugat peraturan-peraturan yang mendukung eksistesi oligarkis dan lain-lain.(****)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler