Hukuman Mati Terpidana Narkoba, Jokowi tak Konsisten

Jumat, 24 April 2015 – 17:27 WIB
Hukuman Mati Terpidana Narkoba, Jokowi tak Konsisten. Foto JPNN.com

jpnn.com - JPNN. com JAKARTA - Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Supriyadi W Eddyono menyebut sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) inkonsisten terkait eksekusi mati terhadap 10 terpidana narkoba.

Penilaian ini didasarkan pada sikap Jokowi dalam beberapa waktu terakhir, terutama saat membuka Konferensi Asia Afrika (KAA).

BACA JUGA: Pengamat Sarankan Jokowi Copot Puan sebelum Lebaran

Saat berpidato di pembukaan KAA, Presiden Joko Widodo bebicara lantang mengenai hak hidup, menolak ketidakadilan dan menyentuh kemanusiaan.

"Pidato yang banyak dipuji oleh negara sahabat ini ternyata tidak bertahan lama dalam tataran praktiknya di Indonesia," kata Supriyadi melalui siaran persnya, Jumat (24/4)..

BACA JUGA: Ini Rekomendasi Panja Pilkada soal Pencalonan Partai Berkonflik

Ini karena sehari setelah pidato itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah pelaksanaan eksekusi mati kepada jaksa eksekutor terhadap sepuluh terpidana mati gelombang kedua, yakni Martin Anderson alias Belo, Zainal Abidin, Raheem Agbajee Salame, Rodrigo Gularte, Mary Jane Fiesta Veloso, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Serge Areski Atlaoi, Okwudili Oyatanze, Sylvester Obiekwe Nwolise.

"Surat tersebut diterima oleh Jaksa Eksekutor pada pada 23 April 2015, satu hari setelah Presiden Jokowi dipuji karena pidato kemanusiaannya. ICJR menilai bahwa banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Joko Widodo apabila akan menjalankan eksekusi mati," ujarnya.

BACA JUGA: Lion Air Berasap, Satu Penumpang Patah Kaki, Satu Pingsan

Berdasarkan penelusuran ICJR, Indonesia masih bermasalah dengan problem fair trial, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana mati banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil. Contoh kasus, Zainal Abidin misalnya, terindikasi disiksa dan diintimidasi oleh penyidik, tidak didampingi kuasa hukum pada awal interogasi, saksi yang diajukan diruang sidang juga sangat minim.

Kemudian Mary Jane Fiesta Veloso, diduga juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak. Peran dirinya dalam jaringan narkotika juga sangat lemah,  Mary Jane Fiesta Veloso merupakan kurir yang dijebak, dengan peran yang sangat minim maka tingkat kesalahan Mary Jane Fiesta Veloso tidak pula layak dijatuhi pidana mati.

"Eksekusi hukuman mati juga seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma HAM kontemporer menurut preseden dan pengalaman Komite HAM dan atau Komite Anti Penyiksaan," tambahnya.

Karenanya ICJR menilai bahwa ada baiknya pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan review terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip fair trial.

"Posisi Indonesia yang sedang baik paska KAA harus dijadikan cermin terkait praktik eksekusi mati yang bertentangan dengan kemanusiaan. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati agar tidak dianggap inkonsistensi," pungkasnya.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Keterangan Jubir Kemenhub soal Lion Air Mengepul


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler