jpnn.com - Wacana Humanitarian Islam (al Islam lil Insaniyah) atau Islam untuk kemanusiaan merupakan buah pemikiran massyaikh NU yang bersumber dari Rasulullah Muhammad SAW.
Gagasan tersebut yang juga berpijak dari kesadaran historis – spiritual dalam konstruksi universal.
BACA JUGA: Setelah APT Viral, Rose BLACKPINK Kini Hadirkan Number One Girl
Pijakan yang menyadari bahwa Islam masuk ke nusantara secara damai— sebagaimana jejak Wali Songo menyebarkan Islam yang tidak pula memerangi tradisi leluhur.
Spiritualitas para wali memberi teladan bahwa siar Islam bisa membaur dengan kearifan lokal, tanpa saling melenyapkan.
BACA JUGA: Technogym & MOIE Hadirkan Nuansa Elegan dalam Kebugaran
M Rifai Darus - Wakil Ketua PWNU Papua. Foto: Dokumentasi pribadi
BACA JUGA: Calon Bupati Biak Numfor Jadi Tersangka Pelecehan Seksual Sesama Jenis
Dua pijakan itu bermuara pada keistimewaan Rasulullah Muhammad yang diutus Allah Azza wa Jalla sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya ayat 107).
Gagasan Humanitarian Islam yang tengah dipromosikan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) merefleksikan konsepsi trilogi ukhuwah.
Konsepsi yang terbangun berbasis persaudaraan: antarumat Islam (ukhuwah Islamiyah), antaranak bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan antarumat manusia (ukhuwah basyariah).
Konsep yang telah dicetuskan oleh ulama NU kharismatik, KH. Achmad Siddiq (1926-1991) menjelang Muktamar NU ke-28 pada tahun 1989 di Krapyak, Yogyakarta.
Sebelumnya, di Muktamar NU ke-27 (1984) di Situbondo, KH. Achmad Siddiq pula yang meneguhkan urgensi Khittah NU 1926.
Terkait hal itu, tamsil Kiai Achmad Siddiq sempat populer; “NU ibarat kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa sopirnya ke mana saja. Rel NU sudah tetap.”
Metafor yang tidak hanya menyudahi ‘kebisingan’ mengenai orientasi NU di antara pilihan berpolitik praktis atau tidak.
Tetapi juga momentum untuk kembali menyalakan semangat ukhuwah ahlus sunnah wal jamaah an Nahdliyah sebagaimana Qonun Asasi NU.
Sementara itu, realitas domestik dihantui oleh tekanan otoriterianisme, sedangkan pada konteks global, ada kecenderungan menguatnya Islamisme politik. Itu sebabnya, seruan kembali ke Khittah NU 1926, menemukan relevansinya.
Kendati represi politik terhadap NU begitu kuat, duet kepemimpinan KH Achmad Siddiq (Rais ‘Aam) dan Gus Dur (Ketua Umum) sejak 1984-1989, mempunyai cara tersendiri dalam membendung intensi politik Suharto— tanpa harus menghentikan manuver maupun kritik khas Gus Dur di masa Orba.
Dan di era 1970 – 2000-an, tren Islamisme politik di sejumlah negara seperti Iran, Mesir, Afghanistan, Pakistan, hingga India memicu ketegangan ideologis antarfaksi politik yang teramat kompleks dan berkelindan dengan citra Islam di dunia barat.
Sejak petaka 11 September 2001 di WTC, menyusul kemudian agresi AS terhadap Irak (2003), dunia Islam mengalami tekanan.
Melihat situasi itu, dapat dibayangkan bila NU tidak kembali ke jalurnya dan terseret ke dalam langgam politik praktis.
Dapat dipahami pula, mengapa NU menerima asas tunggal Pancasila—meski sedari awal tidak turut serta dalam memperjuangkan syariat Islam sebagai dasar negara, baik dalam aspek gagasan, terlebih gerakan bersenjata.
Sebelum terbentuknya negara, NU telah menerima bahkan membela konsepsi nasionalisme Indonesia, dan bukan formalisme agama.
Jejak NU Dalam Humanitarian Islam
NU melatari perjuangannya berdasarkan konstruksi keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan.
Tiga pilar itulah yang senantiasa mewujud dalam gagasan maupun langkah yang ditempuh untuk merespon pelbagai tantangan zaman.
Semisal saat dibentuknya Komite Hijaz—seturut dengan berdirinya NU—tidak lain untuk merespons gerakan purifikasi oleh Raja Ibn Saud di tanah Hijaz (Mekkah-Madinah) yang melarang kebebasan bermadzhab termasuk menggusur makam Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat.
Di masa itu, tersiar kabar bahwa sejak Raja Ibn Saud berkuasa, banyak ulama yang eksodus dari Tanah Haram lalu menetap di Haramain (Yaman)—oleh sebab ancaman otoritas Saudi yang melarang kebebasan bermadzhab. Sebelumnya, tanah Hijaz merupakan sentrum pengetahuan Islam dengan kebebasan bermadzhab.
Pada aspek kemanusiaan, KH. Mahfudz Siddiq-- atas persetujuan Rais Akbar NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pernah mengobarkan empati untuk Palestina yang disertai dengan gema Qunut Nazilah dan penggalangan dana.
Aksi solidaritas pada tahun 1938, itu dilakukan lantaran zionis Yahudi kembali menyerang Palestina setelah dua puluh tahun Deklarasi Balfour.
Atas aksinya itu, KH. Mahfudz Siddiq sempat ditekan otoritas Hindia Belanda, namun tak menggoyahkan sikapnya.
Dalam konteks kebangsaan, NU terlibat aktif memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan republik.
Melalui Resolusi Jihad 1945 yang dinisbatkan sebagai perang suci umat muslim di Indonesia melawan kolonialisme yang memulihkan semangat juang saat berada dalam situasi genting yaitu kembalinya Belanda ke Indonesia—memboncengi tentara sekutu, setelah Jepang menyatakan kalah dalam Perang Pasifik.
Resolusi Jihad itu pula yang menyalakan perjuangan arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu, dalam pertempuran terbesar dan terbuka pada 10 November 1945.
Setelahnya, meski kondisi sosial politik mengalami tekanan efek dari fragmentasi ideologi (ekstrem kiri-ekstrim kanan), NU tidak pernah melakukan pemberontakan dan tidak pula hanyut dalam arus kepentingan yang keluar dari konteks kebangsaan terlebih mengubah dasar negara yaitu Pancasila.
Di masa Orba, NU mampu beradaptasi dan kembali memperkuat perannya di bidang keagamaan, pendidikan dan sosial. Meski sempat berada di bawah tekanan, di masa Gus Dur, NU mampu menjadi kekuatan pengimbang dominasi politik Suharto.
Gus Dur terlibat aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan sebagai pembela kaum marjinal sekaligus loko menguatnya kelompok masyarakat sipil.
Di masa itu pula, Gus Dur sangat produktif menuangkan ragam pemikirannya mulai dari topik kemanusiaan (humanisme), ke-Islaman dan keberagaman hingga demokrasi.
Komitmen dan konsistensi Gus Dur mendapat pengakuan dari sejumlah pihak, baik dalam maupun dari luar negeri.
Ikhtiar yang telah dilakukan oleh Gus Dur tidak hanya penting untuk generasi selanjutnya. Tetapi juga membuka mata dunia, bahwa Islam Indonesia dapat sejalan dengan praktik demokrasi dan Islam di nusantara pun dapat tumbuh harmonis dengan tradisi.
Upaya yang telah dilakukan oleh Gus Dur terus disambung oleh generasi setelahnya, seperti Islam Nusantara hingga Humanitarian Islam. Perlahan gagasan yang memancar dari Indonesia-- terkhusus yang bersumber dari pemikiran para ulama NU, mulai menarik atensi kalangan cendikia, tidak hanya dari Timur Tengah tetapi juga dari akademisi dunia barat.
Gus Dur, Papua dan Peran NU
Masa reformasi ’98, Indonesia memasuki masa transisi politik yang ditandai pula oleh maraknya konflik sosial-horisontal dengan latar pemicu yang beragam.
Entah konflik antar etnik hingga agama yang kompleks dan berkelindan dengan kepentingan politik.
Menyadari integrasi nasional dalam bahaya, Gus Dur mengubah pendekatan resolusi konflik, dari pendekatan represi menjadi mediasi (dialog)—dengan tetap menghormati keragaman pendapat serta menempatkan aspek kemanusiaan (martabat manusia) di atas segalanya. Termasuk mengupayakan perdamaian di Papua yang kala itu intensi konflik berpotensi terjadinya disintegrasi.
Melalui pendekatan dialog yang inklusif, humanis dan penuh empati, Gus Dur mendekati tokoh-tokoh adat dan simpul pergerakan di Papua, mendengarkan serta menyerap aspirasi mereka.
Selain mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, Gus Dur pula yang memperjuangkan pengakuan identitas budaya, HAM dan keadilan bagi masyarakat Papua—termasuk menyiapkan kerangka otonomi khusus bagi Papua. Itu sebabnya, sosok Gus Dur begitu dicintai oleh masyarakat Papua dan dinobatkan sebagai “Bapak Perdamaian Papua.”
Perjuangan Gus Dur di Papua perlu dilanjutkan dan dikembangkan, terkhusus oleh elemen-elemen NU. Mengingat, tantangan di Papua teramat kompleks. Berbeda dengan demografi di Jawa atau daerah lain, Papua mempunyai keunikan tersendiri.
Penduduk Orang Asli Papua (OAP) masih menganut sistem adat yang teramat kompleks dan umumnya terikat dengan tanah leluhur di wilayahnya yang inheren dengan keragaman identitas budayanya.
Segregasi sosial berpotensi terjadi bila muncul perlakuan ketimpangan antara OAP dengan yang bukan OAP—atau mereka yang bermigrasi ke Papua.
Belum lagi, trauma yang harus dilalui oleh penduduk setempat yang merasakan konflik bersenjata—meski kini skalanya relatif dapat dikendalikan.
NU Papua harus mengambil peran aktif untuk memperkuat kohesi sosial melalui pendekatan kebudayaan, kemanusiaan dan pemberdayaan dalam semangat persaudaraan (trilogi ukhuwah).
Kolaborasi pemangku lokal, pemerintah pusat dengan NU maupun ormas keagamaan lainnya, perlu diperkuat agar perdamaian di bumi Cendrawasih ini dapat berjalan berkesinambungan.
Sekali lagi, masa depan Papua tidak cukup mengandalkan satu-dua pendekatan saja. Tetapi harus multidimensi, lintassektor dan peran aktif semua pihak untuk menjaga, merawat dan menumbuhkan solidaritas sosial antar anak bangsa.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari