jpnn.com - Kasihmu tiada berujung
Senantiasa memberi damai di hatiku
Engkau yang tak pernah penat untukku
Anakmu yang kadang mengabaikanmu
SETIAP 22 Desember selalu kita peringati sebagai Hari Ibu. Ada berbagai kegiatan untuk menyemarakkan Hari Ibu, misalnya dengan tampil berkebaya atau mengenakan busana tradisional layaknya Hari Kartini.
BACA JUGA: Peringati Hari Ibu, Mak Ganjar Jakarta Gelar Cek Kesehatan Gratis & Senam Massal
Namun, sejatinya makna Hari Ibu tidaklah sesederhana itu. Ibu adalah awal dari sumber informasi bagi anak-anaknya.
Ibu yang mengawal kita sejak dari dalam kandungan hingga melihat dunia. Ibu pula yang memberikan ajaran pertama tentang kehidupan, hingga menjadi bekal kita dewasa.
BACA JUGA: Detik-detik Mobil Polisi Tabrak Motor di Jombang yang Menewaskan Ibu Guru Ely Murtasiyah
Ada hal hakiki dari peran seorang ibu yang kadang sering dilupakan, yaitu sebagai sumber literasi bagi kehidupan anak-anaknya. Tulisan yang berangkat dari perspektif literasi dan komunikasi ini pun saya persembahkan untuk kaum ibu.
The Oxford English Dictionary mendefinisikan literasi secara harfiah adalah kemampuan membaca dan menulis.
BACA JUGA: Prof Ojat Mengajak PMI di Korsel Kuliah di Universitas Terbuka, Akses Diperluas
Adapun Alberta Education memberikan definisi literasi berarti bantuan bagi kita memahami dunia -mulai dari bangun hingga tidur lagi- dan selalu membuat makna di sekitar kita.
UNESCO (2010) memberikan pengertian bahwa literasi membantu mendorong pembangunan berkelanjutan, memungkinkan partisipasi yang lebih besar dalam pasar tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, dan memperluas kesempatan hidup.
Berbagai definisi itu dapat dimaknai bahwa literasi adalah kemampuan memaknai apa yang ada, termasuk bagaimana seorang ibu memberikan makna kepada anak-anaknya untuk melalui kehidupan ini.
Data UNSECO pada 2022 juga menyebutkan bahwa literasi di Indonesia dari sisi minat baca baru 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang hanya satu yang gemar membaca.
Kepedulian dunia akan pentingnya literasi begitu besar sehingga UNESCO mendeklarasikan 8 September sebagai Hari Literasi Dunia.
Di tanah air, pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis untuk menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 dengan mencanangkan Gerakan Nasional Literasi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Gerakan itu sudah digalakka melalui
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang mendorong pembiasaan penumbuhan budi pekerti.
Dalam beleid itu dijelaskan salah satu kegiatan untuk menumbuhkan budi pekerti ialah menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku populer.
Kegiatan itu dilaksanakan setiap hari.
Lantas, apa kaitan ibu dengan literasi?
Kofi Annan (sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa 1997-2006) mengatakan lLiterasi adalah jembatan untuk mencapai harapan.
Maknanya ialah literasi sebagai alat kehidupan di era masyarakat modern untuk melawan kemiskinan.
Literasi merupakan dasar dari demokrasi, sekaligus kendaraan dalam mempromosikan budaya dan identitas nasional.
Bagi siapa pun, literasi sangat berkaitan dengan pendidikan dan hak asasi manusia.
Literasi juga menjadi jalan bagi pertumbuhan manusia dan alat karena mendorong setiap orang menyadari akan potensi luar biasa di dalam diri.
Rasa optimistis dan percaya diri pun harus ditumbuhkembangkan sejak dini.
Tentu saja, orang yang paling dekat dengan kita sejak dini adalah orang tua, khususnya ibu yang melahirkan kita melihat dunia.
Ibu mengajarkan anak-anaknya segala sesuatu yang diketahuinya benar.
Ibu mengajari kita berbicara, bahkan berjalan dalam kehidupan nyata.
Ibulah guru pertama kita. Dengan kasih yang tak bersyarat, ibu selalu memberi harapan dan membuat kita paham akan arahan dalam kehidupan.
Carolyn Savage (2017) mengatakan bahwa ibu tidak sekadar mengajarkan bahasa, tetapi juga personalitas, identitas sosial dan budaya, sekaligus pelajaran tentang kemampuan tertentu, seperti berpikir kritis dan kemampuan literasi.
Jadi, makin jelas bahwa literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga kecakapan memberi makna terhadap suatu fenomena yang ada di sekitar kita.
Persoalan literasi juga menyangkut soal bagaimana cara berkomunikasi. Komunikasi bisa dilihat dari tiga model, yaitu linier, interaktif, dan transaksional.
Komunikasi linier berarti proses transfer informasi dari pengirim ke penerima. (Ellis & McClintock, 1990)
Adapun model interaktif adalah adalah proses komunikasi antara partisipan sebagai pengirim dan penerima membangun makna dengan mengirimkan pesan dan menerima dalam konteks fisik maupun psikologi. (Schramm, 1997)
Selanjutnya, model transaksional adalah komunikasio yang lebih memfokuskan pada peran pengirim dan konteks dimana interaksi terjadi. (Barnlund, 1970)
Ketiga model tersebut menunjukkan komunikasi bisa dikaitkan dengan perkembangan hubungan ibu dan anak. Di saat seseorang masih kecil, pola komunikasinya lebih ke model linier.
Seiring perkembangan usia dan ketika seseorang mulai bermasyarakat, model komunikasinya menuju ke interaksi dan transaksi.
Ada keterikatan yang akan terus berlangsung dan hal itu akan makin meningkatkan kemampuan literasi yang membawa kita mampu memahami apa yang ada dan terjadi di sekitar kita.
Oleh karena itu, seseorang dengan kemampuan literasi rendah akan kesulitan dalam hal pendidikan di sekolah, pekerjaan, bahkan kesamaan dan akses layanan kesehatan, khususnya dalam berinteraksi.
Kurangnya keterampilan berkomunikasi juga berdampak pada kemampuan memproses informasi dan menyulitkan pengintegrasian antara pikiran dengan hal yang akan diucapkan. Hal itu juga akan menyulitkan proses adaptasi dengan lingkungan. (Wood & Hartshorne, 2017)
Dengan demikian, jelas bahwa tanpa literasi berarti tiada interaksi. Komunikasi tanpa literasi bagaikan pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” sehingga apa pun yang diucapkan tanpa makna.
Komunikasi pada dasarnya adalah proses penyampaian ide dengan menggunakan simbol-simbol yang bermakna dari satu orang ke orang yang lain untuk menghasilkan kesamaan pengertian atau yang dikenal dengan mutual understanding. Tanpa kesamaan pengertian maka komunikasi tidak akan efektif.
Komunikasi yang baik akan memberikan tingkat pemahaman literasi yang baik pula. Kemampuan itulah yang harus harus diasah sejak dini.
Oleh karena itu, ibu sebagai penjaga awal anak-anak mempunyai peran strategis untuk membawa bangsa ini ke tingkat kemampuan literasi yang lebih baik.(**)
*Penulis adalah dosen senior Universitas Terbuka dan penggiat literasi.
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi