Bentuk e-KTP yang sudah dibagikan ke masyarakat yang tidak menggunakan chip seperti yang disetujui bersama, menurut Tama, adalah bukti dugaan terjadinya pelanggaran kontrak.
"Dalam kontrak Percetakan Negara RI (PNRI) dan konsorsium sebagai pelaksanan e KTP harus mengacu pada kontrak yang ada untuk mengerjakan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional. Pasal 1 soal lingkup pekerjaan yang paling utama yang berhubungan dengan pengadaan blanko e-KTP berbasih chip seperti yang termuat dalam perjanjian pasal 1 ayat 2. Jadi kalau sekarang bentuknya tidak ada chipnya maka itu merupakan bentuk pelanggaran kontrak,” kata Tama S Langkun, saat dihubungi wartawan, Rabu (12/11).
Meski Mendagri Gamawan Fauzi telah menjelaskan bahwa chipnya ditanam, menurut Tama, itu harus dibuktikan.
”Lagipula keputusan yang diambil itu menggunakan chip di luar. Penggunaan chip seperti yang telah dipaparkan itu telah dilakukan dengan kajian. Jadi tidak bisa karena alasan apapun maka bentuknya dirubah di luar dari kontrak yang sudah disepakati. Siapapun itu, baik dari kementrian dan penerima pekerjaan harus mematuhi kontrak,” tegasnya.
Selain itu, diduga juga terjadi pelanggaran dari sisi jangka waktu penyelesaian e-KTP. Di dalam kontrak sudah tertulis mengenai pendistribusian yang wajib dilakukan sampai tingkat kecamatan dalam jangka waktu yang sudah disepakati.
“Dalam rentang waktu yang ada harusnya semua kecamatan sudah menerima e-KTP. Selain itu di beberapa tempat, Pemda harus merogoh APBD-nya sendiri untuk membayar lembur pegawainya dan listrik," ungkap dia. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tentukan Sikap PP Baru, Pimpinan KPK Gelar Rapat
Redaktur : Tim Redaksi