JAKARTA - Kinerja jaksa penuntut umum (JPU) dalam memberikan dakwaan dipertanyakan dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor). Jaksa dianggap tidak dapat memberikan dakwaan yang tegas terhadap koruptor. Salah satunya yang disorot adalah jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terungkap dalam penyampaian hasil eksaminasi evaluasi kinerja 2 tahun 2012-2013 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Menurut Peneliti ICW, Emerson Yuntho beberapa dakwaan yang diberikan JPU cenderung memberikan celah bagi hakim untuk memberikan hukuman ringan kepada terdakwa kasus korupsi.
"Seharusnya dakwaan JPU yang tepat adalah dengan model subsidairitas bukan model alternatif, dimana hakim bisa memilih," ujar Emerson di dalam diskusi di Jakarta Selatan, Rabu (13/3).
Ia mencontohkan dakwaan dari terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan, jaksa mendakwa Nazaruddin dengan empat dakwaan alternatif, yakni Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Namun, majelis hakim akhirnya memilih menjerat Nazaruddin dengan pasal 11 yang ancaman hukuman maksimalnya lima tahun penjara.
Kasus lain yang disoroti adalah kasus dugaan korupsi di Kemenpora dan Kemendiknas dengan terdakwa Angelina Sondakh. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman empat tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp250 juta subsider kurungan enam bulan kepada mantan Puteri Indonesia tersebut.
Putusan majelis hakim ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa KPK karena penerapan pasal yang berbeda. Hakim menilai Angie terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP yang memuat hukuman maksimal lima tahun penjara.
Sementara jaksa memilih Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP, yang ancaman hukumannya lebih berat, maksimal 20 tahun penjara. Ini salah satu diduga terjadi karena adanya dakwaan alternatif.
"Di dua kasus itu juga tidak dipakai pasal tindak pidana pencucian uang, padahal, penting untuk melihat aliran dana pencucian uangnya pada orang lain," kata Emerson. (flo/jpnn)
Menurut Peneliti ICW, Emerson Yuntho beberapa dakwaan yang diberikan JPU cenderung memberikan celah bagi hakim untuk memberikan hukuman ringan kepada terdakwa kasus korupsi.
"Seharusnya dakwaan JPU yang tepat adalah dengan model subsidairitas bukan model alternatif, dimana hakim bisa memilih," ujar Emerson di dalam diskusi di Jakarta Selatan, Rabu (13/3).
Ia mencontohkan dakwaan dari terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin. Dalam persidangan, jaksa mendakwa Nazaruddin dengan empat dakwaan alternatif, yakni Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Namun, majelis hakim akhirnya memilih menjerat Nazaruddin dengan pasal 11 yang ancaman hukuman maksimalnya lima tahun penjara.
Kasus lain yang disoroti adalah kasus dugaan korupsi di Kemenpora dan Kemendiknas dengan terdakwa Angelina Sondakh. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman empat tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp250 juta subsider kurungan enam bulan kepada mantan Puteri Indonesia tersebut.
Putusan majelis hakim ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa KPK karena penerapan pasal yang berbeda. Hakim menilai Angie terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP yang memuat hukuman maksimal lima tahun penjara.
Sementara jaksa memilih Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP, yang ancaman hukumannya lebih berat, maksimal 20 tahun penjara. Ini salah satu diduga terjadi karena adanya dakwaan alternatif.
"Di dua kasus itu juga tidak dipakai pasal tindak pidana pencucian uang, padahal, penting untuk melihat aliran dana pencucian uangnya pada orang lain," kata Emerson. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harta Berlimpah Irjen Djoko Susilo, dari Mana Asalnya?
Redaktur : Tim Redaksi