Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, Inspirasi bagi Sukmawati Menganut Hindu Bali

Selasa, 26 Oktober 2021 – 14:31 WIB
Bung Karno sungkem kepada ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Foto: Arsip Nasional

jpnn.com - Politikus cum pegiat seni Sukmawati Soekarnoputri telah memutuskan meninggalkan statusnya sebagai muslimat menjadi seorang penganut Hindu.

Putri Proklamator RI Bung Karno itu memilih Hindu sebagai agamanya karena terinspirasi neneknya, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben, yang berdarah Bali.

BACA JUGA: Inilah Rangkaian Ritual untuk Sukmawati sebelum Masuk Hindu, Ada Tempat Istimewa

Lantas, siapakah Ida Ayu Nyoman Rai Srimben?

Catatan Dinas Sosial Buleleng dan situs Kepustakaan Presiden menunjukkan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben lahir pada 1881. Dia merupakan anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran.

BACA JUGA: Gelorakan Spirit Bung Karno Lewat Komik Karya Putra Bu Mega

Nama Srimben berasal dari dua kata, yakni 'Sri' yang berarti kebahagiaan, dan 'Mben' yang bermakna rimbun. Nama Srimben juga diartikan sebagai kebahagiaan yang berlimpah.

Adapun nama Ida Ayu merupakan gelar yang diberikan langsung oleh Bung Karno. Presiden Pertama RI itu menyematkan gelar Ida Ayu sebagai penghormatan kepada sosok yang telah melahirkan dan membesarkannya.

BACA JUGA: Menelusuri Sosok Nyoman Rai Srimben, Ibunda Bung Karno

Rai Srimben tinggal dan tumbuh dewasa di suatu daerah yang dikenal dengan nama Banjar Bale Agung, Kabupaten Buleleng.

Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Rai Srimben bersahabat dengan Made Lastri yang kemudian mengenalkannya dengan seorang guru pendatang asal Jawa bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Kelak, Srimben dan R Soekemi menikah pada 1897. Namun, kisah asmara perempuan Bali dengan perantau asal Jawa itu bukan hal mudah, karena Srimben tidak mengantongi restu dari orang tuanya.

Namun, dari pernikahan itulah lahir anak pertama bernama Raden Soekarmini (juga dikenal sebagai Bu Wardoyo) pada 29 Maret 1898.

Keluarga kecil itu lantas pindah ke Surabaya. Pada 6 Juni 1901, Srimben melahirkan Soekarno di sebuah rumah di Kampung Pandean, Surabaya.

Perempuan itu mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual Hindu yang pernah dipelajarinya.

Enam bulan kemudian, Srimben harus mengikuti suaminya pindah ke Kecamatan Ploso, sebuah kota kecil di Jombang.

Faktor kesehatan memaksa Srimben dirawat dan diasuh oleh mertuanya di Tulungagung, Jawa Timur. Hal itu membuatnya terpisah sementara dari Soekarno.

Srimben kembali mengasuh Soekarno saat R Soekemi pindah ke Mojokerto. Srimben pun kembali ikut suaminya tinggal di daerah baru.

Di Mojokerto pula Raden Soekarmini menikah. Selanjutnya, putri sulung Soekemi dan Srimben itu pun tinggal bersama suaminya.

Persoalan muncul ketika Soekemi dipindah ke Blitar, sedangkan Soekarno bersekolah di Surabaya. Srimben mengikuti suaminya ke Blitar.

Adapun Soekarno yang menuntut ilmu di Surabaya dititipkan kepada HOS Tjokroaminoto.

Di Blitar, Srimben tinggal di asrama sekolah. Dia dipercaya mengelola asrama sekaligus mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut.

Kini, asrama itu menjadi Sekolah Menengah Umum I Blitar.

Kabar tak menyenangkan datang ke Srimben saat Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dibui di Penjara Sukamiskin pada 1930.

Berita itu mendorong Srimben berangkat ke Bandung dan mendatangi Penjara Sukamiskin.

Lantaran buta hukum dan politik, Srimben langsung bertanya kepada petugas rumah tahanan.

Bukan jawaban yang diperoleh, Srimben justru dibentak dan diusir oleh penjaga penjara tersebut.

Memasuki usia senja, Srimben terus mendampingi suaminya di Blitar sambil tetap menunggu surat, berita koran, atau kabar tentang Sekarno.

Kehidupan di Blitar kembali bergemuruh ketika Srimben mendengar Soekarno bercerai dari Inggit Garnasih. Selanjutnya, Bung Karno menikahi Fatmawati.

Pernikahan Soekarno dengan putri tokoh Muhammadiyah asal Bengkulu itu menghasilkan momongan yang sangat diharapkan Srimben dan R Soekemi.

Nyoman Rai Srimben dan R. Soekemi menyaksikan kelahiran cucunya di Jakarta.

Kebahagiaan Nyoman Rai Srimben dan Soekami menimang cucu tidaklah lama. Saat berjalan-jalan di Jakarta, R. Soekemi terjatuh dan sakit keras hingga akhirnya meninggal pada tanggal 18 Mei 1945.

Kemudian Nyoman Rai Srimben kembali ke Blitar. Sejak Indonesia merdeka dan Bung Karno menjadi Presiden Pertama RI, Rai Srimben tidak pernah mau menginjakkan kakinya di Istana Negara.

Namun, Nyoman Rai Srimben menjadi pelopor perkawinan campur antar-suku, sehingga diyakini telah memberikan inspirasi kepada Soekarno untuk menyatukan Nusantara menjadi Republik Indonesia.

Pada 12 September 1958, Nyoman Rai Srimben meninggal dunia. Kini, makamnya berdampingan dengan pusara R Soekemi dan Bung Karno.(bhi/JPNN)

Artikel ini telah terbit di bali.jpnn.com 


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler