Iduladha Harus Persatukan Umat dari Berbagai Perbedaan

Rabu, 31 Agustus 2016 – 17:44 WIB
Ilustrasi. Foto: AFP

jpnn.com - JAKARTA – Iduladha adalah momentum untuk mempersatukan umat dengan latar belakang berbeda. Perbedaan itu berupa keragaman budaya seperti bahasa, warna kulit, dan adat istiadat. 

Pun perbedaan agama seharusnya tidak mengganggu esensi. Yaitu kesatuan rohaniah yang kini digunakan paham radikal terorisme untuk mengadu domba, bahkan membunuh sesamanya.

BACA JUGA: Anak Buah Prabowo Dukung Muhammadiyah Gugat UU Tax Amnesty

“Ibadah haji memang sebuah ritual tapi tidak sekadar itu, karena harus kita lihat esensinya. Bukan sekadar ritual di mana kita naik haji kemudian pulang mendapat gelar haji , bu hajjah dsb. Haji sebenarnya mengandung makna simbolik yang dalam sekali untuk persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia maupun dunia,” kata guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Asep Usman Ismail, Rabu (31/8).

Dalam momen Iduladha ini, ia mengajak seluruh umat manusia untuk memperkuat persatuan. Terutama dalam memerangi bahaya nyata yaitu radikalisme dan terorisme.

BACA JUGA: Kemenlu Sedang Siapkan Kartu Diaspora

Pasalnya, radikalisme dan terorisme tidak dibenarkan Islam, apa pun bentuknya. Apalagi seperti serangan di halaman Masjid Nabawi, Madinah beberapa waktu lalu.

Asep mengingatkan akan perayaan Iduladha yang merupakan puncak ibadah haji yang dilaksanakan umat muslim. Ia juga menegaskan bahwa pada hakikatnya  tidak ada Islam Pakistan, Islam Yaman. 

BACA JUGA: 12 Tahun DPD Terbentuk, Jimly Asshiddiqie: Sudah Saatnya Diperkuat

“Itu hanya masalah tempat tinggal, lalu dari tempat tinggal itu lahir sistem sosial, itu lahir cinta tanah air, muncul nasionalisme, kebangsaan, budaya dan lain-lain. Nasionalisme itu pangkalnya tempat tinggal, lalu muncul cinta tanah air. Itu kenyataan yang tak bisa dihindari. Lahir di Makah atau Indonesia maka dia cinta pada tanah kelahiran. Itu perbedaan dan Islam yang mempersatukannya,” terangnya.

“Ajaran dasar Islam itu dirancang sistematik, sistemik, di mana semua komponen satu sama lain saling menguatkan. Simbolik yang mempersatukan umat Islam itu sebetulnya banyak, salah satunya adanya Kabah. Itu yang mempersatukan umat,” katanya.

Keragaman budaya itu menurut Alquran adalah harus direnungkan supaya bisa saling mengenal, mengenal budaya, bahasa, dan adat istadatnya dan itu diakui oleh Alqur’an.

“Ada keragaman budaya. Tetapi ada keragaan budaya itu tidak boleh mengganggu esensi yaitu kesatuan spiritual,” ujar Asep.

Salat itu adalah doa jarak jauh dan merasai satu sebagai umat Islam sebagai satu kesatuan, sedangkan haji adalah jarak dekat. Jutaan orang dari berbagai belahan dunia dari berbagai berlahan dunia, dari berbagai kawasan,  berbagai negara berkumpul di satu titik.

“Di momentum itu, orang akan merasa satu misalnya ketika mengelilingi Kabah dan berada di Mina untuk melempar jumroh. Puncaknya di mana umat merasa bersatu adalah ketika wukuf di mana semua memakai kain putih. Jadi semua identitas, atribut dilepas dan hanya memakai kain putih,” ujarnya.

“Kain putih itu sebenarnya bukan warna. Putih itu menggambarkan kesucian, kebersihan dan persamaan. Ada makna folosofisnya yaitu menggambarkan kematian. Karena ketika mati , semua orang muslim itu akan ditutup dengan kain kafan yang warnanya putih,” katanya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa Minta Hakim Kesampingkan Permintaan Edy Nasution


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler