Idulfitri dan Rezimentasi Agama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 19 April 2023 – 04:53 WIB
Salat Idulfitri di Masjid Kubah Emas, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo

jpnn.com - Ribut-ribut soal perbedaan Idulfitri tahun ini memunculkan sinyalemen terjadinya rezimentasi agama. Hal itu diungkapkan oleh elite Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menanggapi munculnya penolakan izin penggunaan lapangan untuk salat id di beberapa daerah.

Di Pekalongan, Sukabumi, dan Surakarta, pengurus Muhammadiyah tidak diberi izin untuk memakai fasilitas umum lapangan untuk tempat salat id. Alasan yang diberikan adalah bahwa otoritas setempat mengikuti keputusan pemerintah yang kemungkinan besar akan berbeda dengan keputusan Muhammadiyah.

BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Minta Kepala Daerah Fasilitasi Salat Id Warga Meski Beda Hari Lebaran

Insiden ini menempatkan Muhammadiyah seolah-olah berada pada posisi detrimental, seolah-olah berada pada posisi yang berhadap-hadapan. Ada upaya untuk menyeragamkan urusan yang berhubungan dengan ubudiyah, tata cara peribadatan, oleh pemerintah. Seharusnya tata cara ubudiyah itu menjadi domain agama yang bebas dari campur tangan pemerintah.

Jika terjadi perbedaan pendapat di antara para penganut agama maka hal itu dianggap sebagai bagian dari ikhtilaf, yang sudah mewarnai sejarah panjang umat Islam. Ikhtilaf, atau kontroversi, yang sifatnya furu’iyah atau praktikal, bisa diselesaikan di antara para penganut agama itu tanpa intervensi kekuasaan.

BACA JUGA: Masjid Indonesia di Tokyo Gelar Salat Idulfitri 3 Gelombang

Rezimentasi terjadi ketika pemerintah dengan otoritasnya menyeragamkan praktik keagamaan yang sifatnya praktikal itu. Penolakan di beberapa daerah itu oleh PP Muhammadiyah dianggap sebagai munculnya gejala rezimentasi, yang cenderung mengarah kepada totalitarianisme yang mengancam pluralisme demokrasi.

Totalitarianisme menghendaki adanya kekuasaan dan penguasaan yang bersifat total. Seluruh unsur harus submisif tunduk terhadap kekuasaan. Totalitarianisme menghendaki ketundukan yang total terhadap kekuasaan. Totalotarianisme bertentangan dengan prinsip pluralisme yang menjadi inti demokrasi.

BACA JUGA: Lebaran 2023 Tanggal Berapa? NU Kapan? Simak Kalimat Mahfud MD

Totalitarianisme memandang perbedaan pendapat sebagai oposisi biner. Perbedaan pendapat dianggap sebagai bagian dari ‘’mereka’’ dan berada di luar kelompok ‘’kami’’. Mereka yang beda pendapat dianggap sebagai bagian dari liyan, other, yang tidak bisa diterima.

Totalitarianisme adalah politik warisan penjajah yang sudah mengurat mengakar terinternalisasi dalam praktik politik sehari-hari. Praktik laten itulah yang berusaha dikikis oleh para pegiat poskolonialisme. Dalam perspektif poskolonialisme, mereka yang berbeda ini dimasukkan dalam kategori kelompok subaltern.

Dalam teori kritis dan pascakolonialisme, istilah subaltern mengacu pada penduduk yang secara sosial, politis, dan geografis berada di luar struktur kekuasaan hegemonik koloni dan tanah air kolonial. Kata subaltern dicetuskan oleh Antonio Gramsci dalam tulisan-tulisannya tentang hegemoni budaya. Teori ini kemudian diadopsi oleh Gayatri Spivak dan banyak dipakai oleh para aktivis gender dan feminisme.

Fenomena kemunculan rezimentasi ternyata sudah diantisipasi oleh Muhammadiyah. Dalam muktamar ke-48 di Surakarta tahun lalu isu rezimentasi menjadi satu di antara tujuh isu keumatan utama yang menjadi perhatian serius Muhammadiyah.

Terdapat tujuh isu keumatan yang dibahas dan ditetapkan pada muktamar Surakarta.

Pertama, rezimentasi agama atau standardisasi pemahaman agama oleh pemerintah, termasuk soal tata cara ubudiyah berdasarkan mazhab tertentu.

Kedua, kesalehan digital.

Ketiga, terkait dengan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Selama ini ukhuwah susah dicapai karena ada ego kelompok yang merasa paling benar, ditambah dengan adanya perbedaan kepentingan.

Keempat, penguatan tata kelola akuntabilitas filantropi Islam.

Kelima, beragama yang mencerahkan. Sering kali di masyarakat, dakwah agama kita, atau sebagian dakwah dan keagamaan kita, belum mencerahkan. Masih ada tindak kekerasan atau kesewenangan.

Keenam, otentisitas wasatiah Islam atau moderasi beragama.

Ketujuh, terkait dengan spiritualitas generasi milenial.

Di antara tujuh isu keumatan tersebut, isu rezimentasi agama atau standardisasi pemahaman agama oleh pemerintah menjadi perhatian serius. Rezimentasi melanggar konstitusi karena terkait dengan kebebasan dan perlindungan dalam beragama.

Merujuk pada catatan sejarah, rezimentasi paham keagamaan terbukti telah menciptakan kekerasan keagamaan, yang pada ujungnya berpotensi menciptakan disintegrasi negara.

Dalam sejarah Islam paham mu’tazilah yang diadopsi oleh negara melahirkan represi dan kekerasan serta pembunuhan terhadap kelompok yang berbeda mazhab. Dalam sejarah Kristen di Eropa pengadopsian agama melahirkan perang berkepanjangan sampai puluhan tahun.

Dalam pandangan Muhammadiyah, sekarang ini mulai dirasakan adanya gejala paham keagamaan tertentu, yang berusaha untuk memaksakan diri menjadi paham agama resmi negara.

Pada mulanya, gejala itu banyak dijumpai di masyarakat, terutama di wilayah peribadatan (ubudiyah). Sekarang mulai masuk ke ranah politik, dengan mencoba menjadi paham atau mazhab resmi negara.

Fenomena beberapa waktu terakhir ini menunjukkan adanya upaya untuk melakukan hegemoni dengan memaksakan paham tertentu menjadi paham resmi negara.

Praktik politik liberal sekarang membuka peluang gerakan hegemonik itu. Politik diukur bukan dari isi kepala, melainkan dari jumlah kepala. Karena mengejar mayoritas 50 persen plus satu maka perhelatan politik memunculkan predator yang saling memangsa.

Nilai-nilai agung dalam politik yang mengedepankan prinsip kemaslahatan umum (public good) sekarang mulai tergerus. Politik hanya dipahami sebagai upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Praktik politik itu menjadikan kekuatan-kekuatan politik yang ada hanya akan melirik kelompok-kelompok dominan dan cenderung menganggap sepi kelompok-kelompok minoritas.

Lalu muncullah politik transaksional. Penguasa butuh kekuasaan yang bisa diperoleh bila mendapat banyak dukungan dari kelompok masyarakat, termasuk kelompok keagamaan yang dominan. Sementara itu, demi menjaga eksistensi, kelompok keagamaan tertentu juga membutuhkan topangan politik dari penguasa.

Gejala mulai terjadinya rezimentasi paham keagamaan itu sekarang hendak dikoreksi oleh Muhammadiyah. Gerakan ini seharusnya tidak terbatas pada Muhammadiyah saja. Masyarakat madani, civil society yang peduli terhadap demokrasi harus ikut bergerak bersama. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler