jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat melihat selama ini peraturan dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), baik di tataran legislatif maupun eksekutif belum menekankan pentingnya para pemimpin yang memiliki rekam jejak dan komitmen mereka dalam mendukung perpajakan nasional.
“Penyelenggara Pemilu harus memastikan, rekam jejak perpajakan para calon pengambil kebijakan benar-benar bagus, baik bagi para calon anggota legislatif maupun eksekutif. Setidaknya, mereka juga harus patuh pajak. Jadi, harus ada aturan yang mewajibkan mereka melaporkan track record perpajakannya,” kata Ariawan, Kamis (17/8).
BACA JUGA: HUT RI ke-78, Pegadaian Banjir Promo Merdeka
Menurutnya, Bangsa kita butuh role model seorang pemimpin yang tidak hanya mampu membawa Indonesia semakin maju, kuat, dan mandiri namun juga menjadi sosok teladan di dalam menunaikan kewajiban perpajakan dengan patuh.
"Sehingga rakyat akan semakin suka rela dalam gotong royong membangun bangsa dan negara," sebutnya.
BACA JUGA: Apakah Semua Dividen Saham Kena Pajak? Cek Dulu Aturannya
Ariawan menyoroti, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 182, Pasal 240, dan 241 tidak mencantumkan aturan tentang kepatuhan pajak sebagai syarat pendaftaran bakal calon anggota DPD dan anggota DPR RI-DPRD.
Demikian halnya dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Anggota DPD yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2017.
BACA JUGA: INDODAX Hadir untuk Memajukan Industri Kripto di Indonesia
Pada Pasal 15 Bagiuan Keempat tentang Persyaratan Calon, dan Pasal 20 Bagian Kelima yang membahas Dokumen Persyaratan Calon, sama sekali tidak mencantumkan klausul yang mewajibkan para calon anggota DPD wajib menyertakan dokumen yang menunjukkan kepatuhan pajak mereka.
“Dari sekian banyak butir persyaratan dalam pasal-pasal tersebut, tidak ada klausul yang menyatakan para calon harus mencantumkan dokumen kepatuhan pajak. KPU harus merevisi aturan itu, yakni seseorang yang mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif Pemilu 2024 harus melampirkan bukti kepatuhan pajak,” tegas Ariawan.
Ariawan menyebut, selama ini dalam Pasal 227 UU Pemilu baru menyebutkan, syarat pencalonan presiden-wakil presiden antara lain dengan bukti pengiriman/penerimaan SPT pajak penghasilan pribadi dalam 5 tahun terakhir.
Namun, menurut Ariawan hal itu belum cukup. Dia mendorong kepada seluruh para Calon Presiden (Capres) yang akan bertarung di pesta demokrasi 2024 agar menyiapkan visi yang jelas mengenai perpajakan nasional.
Sebab, visi Indonesia Maju hanya akan tercapai jika ongkos pembangunan tersebut ada dan dibiayai oleh kita sendiri secara mandiri melalui pajak.
“Salah satu sumber ongkos pembangunan kita ya dari pajak. Kita tahu, pajak masih menjadi tulang punggung APBN Indonesia. Karenanya, setiap pemimpin harus memiliki visi yang jelas bagaimana mewujudkan sistem perpajakan yang baik dan meningkatkan penerimaan yang berkeadilan,” jelas Ariawan.
Ariawan menyebut, pekerjaan rumah pemerintah di bidang perpajakan saat ini antara lain adalah meningkatkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang cenderung menurun di tengah berbagai tantangan yang ada.
Menurut Ariawan, pemerintah harus terus fokus dan konsisten memaksimalkan potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi yang selama ini belum bisa dipajaki secara optimal.
Misalnya penertiban sektor usaha pertambangan yang masih banyak terjadi praktik ilegal, optimalisasi perpajakan di sektor pertanian, sektor informal dan sektor-sektor lainnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada