jpnn.com - Visi pemerintahan Jokowi di periode kedua adalah menciptakan SDM unggul untuk mendukung Indonesia maju. Salah satu pekerjaan rumah untuk menciptakan SDM-SDM unggul Indonesia adalah pembenahan sektor kesehatan.
Ada tiga aspek yang harus dibenahi dalam sektor kesehatan, yaitu pertama aspek ketersediaan dan kualitas SDM dunia kesehatan, sedangkan kedua adalah masalah kualitas kesehatan masyarakat itu sendiri, dan ketiga adalah mengenai keberlangsungan dan jaminan mutu jaminan sosial kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah. Jokowi sendiri dalam kampanyenya di Pilpres 2019 menyatakan bahwa pada periode keduanya akan fokus pada masalah pengembangan SDM Indonesia, maka masalah kesehatan menjadi sangat krusial bagi terwujudnya fokus tersebut.
BACA JUGA: Manfaat Aprikot Kering untuk Kesehatan
Terkait dengan hal tersebut, Harvard Club Indonesia (HCI), sebuah platform think-tank yang beranggotakan alumni-alumni Universitas Harvard di Indonesia, menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengupas berbagai tantangan dan pendekatan untuk membenahi sektor kesehatan.
Kegiatan yang diadakan di Gedung Nusantara DPR RI bertepatan dengan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia di hari Selasa (10/9) tersebut, mengupas berbagai tantangan sektor kesehatan dari berbagai aspek. Mulai dari masalah pendanaan, kesehatan jasmani, mental, dan berbagai isu kesehatan masyarakat.
BACA JUGA: Ancaman Polusi Udara terhadap Kesehatan Jantung
Membuka acara diskusi tersebut, Presiden Harvard Club Indonesia Melli Darsa, yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang & Industri (KADIN) Indonesia Bidang Hukum dan Regulasi, menyatakan bahwa diskusi ini adalah bagian dari serangkaian acara yang rutin diadakan oleh Havard Club Indonesia (HCI) yang ingin berkontribusi kepada Indonesia melalui sumbangan pikiran, masukan, dan kritik membangun sehingga dapat menjadi mitra pemerintah untuk menghasilkan gagasan yang baik demi kemajuan Indonesia.
Melli mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu HCI menggelar diskusi terkait Ibu Kota Baru bersama Bappenas. Hari ini HCI bekerjasama dengan DPR-RI memilih topik kesehatan untuk menggali lebih dalam potensi dan tantangan sektor kesehatan yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi periode dua,
“HCI yakin, seperti halnya seluruh peserta di sini, bahwa kesehatan adalah pra-syarat untuk menghasilkan manusia-manusia unggul Indonesia dan berdaya saing global,” kata Melli (10/9)
Namun, sayang perhatian pemerintah selama ini masih amat terfokus pada kesehatan fisik sementara kesehatan mental atau kesehatan jiwa belum banyak disentuh.
“Untuk itu acara diskusi hari ini akan membahas komprehensif, baik kesehatan fisik dan kesehatan mental karena manusia unggul Indonesia itu harus sehat badannya dan sehat jiwanya,” pungkas Melli dalam sambutannya.
Acara diskusi kesehatan HCI ini dihadiri oleh sejumlah pakar dan praktisi kesehatan. Masing-masing menyampaikan gagasan serta bahasan mengenai aspek kesehatan yang berbeda-beda namun saling terkait.
Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, anggota Komisi IX DPR-RI, menyoroti masalah kesehatan kejiwaan yang juga harus menjadi salah satu fokus pemerintahan Jokowi periode kedua. Menurut Nova, yang juga merupakan psikiater professional, isu mengenai masalah kejiwaan dan mental sudah memasuki masa kritis karena sudah menjangkit anak-anak muda di Indonesia namun belum banyak menjadi prioritas pemerintah saat ini.
“Negara ini akan tumbuh menjadi negara maju jika SDM-nya berkualitas. Berkualitas secara fisik dan intelegensia serta kejiwaannya, itu kalau kita mau kejar generasi emas 2045. Kita juga membutuhkan sebuah visi kesehatan yang adaptif dan komprehensif mencakup hingga kesehatan kejiwaan. Tentunya ini harus diimplementasikan mulai dari sekarang. Kita sudah punya UU Kejiwaan sejak tahun 2014, undang-undangnya sudah ada, tinggal implementasinya saja”, ujar Nova.
Sementara itu, Dr. Nurul Luntungan, M.P.H. lulusan T.H. Chan School of Public Health 2013-2014 yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut menambahkan bahwa visi kesehatan Indonesia harus diiringi oleh komitmen dan kepemimpinan yang tegas, karena isu kesehatan akan mempengaruhi bangsa secara keseluruhan.
“Diperlukan dukungan lintas sektor dan kemitraan dengan sektor publik untuk meningkatkan akses dan kualitas kesehatan. Misalnya untuk mewujudkan Cakupan Kesehatan Semesta, tidak bisa hanya menaikkan iuran JKN, tapi harus didukung kebijakan lainnya yang dapat meningkatkan kualitas layanan dan menurunkan beban kesehatan.” ujar Nurul.
Pembicara lain dalam acara diskusi tersebut, Izhari Mawardi, B. Eng., S.AP., MPP, yang aktif di Yayasan Kemitraan Kerja dan Lembaga konsultan Ernst & Young Indonesia, Harvard Kennedy School Master in Public Policy 2011-2013, mengajak para peserta mengulas mengenai peningkatan SDM dalam hal tenaga kerja menyatakan bahwa visi kesehatan dan SDM harus selaras agar bisa mengikuti perkembangan jaman.
“Undang Undang 13/2003 tentang Tenaga Kerja sudah outdated, tidak bisa menjawab dinamika gangguan digital (digital disruption). Tanpa peraturan yang mampu menjawab tantangan jaman, sulit bagi dunia kerja Indonesia untuk berkembang. SDM yang unggul tercipta melalui progam tenaga kerja yang memberikan pelatihan, kesempatan kerja, dan hubungan kerja yang saling menunjang, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga iklim tenaga kerja yang menunjang,” tegas Izhari.
Di tempat terpisah, Menteri Kesehatan Republik Indonesia periode 2012-2014, dr. Nafsiah Mboi Sp. A, M.P.H., menyatakan bahwa masalah pembenahan sektor kesehatan di Indonesia memerlukan banyak kerjasama dari berbagai pihak karena kompleksnya masalah kesehatan di Indonesia.
“Masalah kesehatan di Indonesia bukan sekedar siapa sehat siapa sakit, tetapi lebih luas lagi. Kesehatan di Indonesia akan menyangkut isu ketimpangan, mutu pelayanan, hingga masalah pembiayaan. Butuh kerja keras dan jangka panjang agar tantangan implementasi dapat diatasi, untuk itu dibutuhkan kerja sama semua pihak baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah,” ujar Nafsiah yang juga adalah anggota HCI dan seorang Research Fellow Takemi Program in International Health, School of Public Health, dari Universitas Harvard (10/09). (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil