Ikut Berduka, Siswa SMP Gantung Diri Setelah Keluhkan Banyaknya Tugas PJJ

Jumat, 30 Oktober 2020 – 10:23 WIB
Ilustrasi gantung diri. Grafis: Sultan Amanda Syahidatullah

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka mendalam atas tewasnya seorang siswa di salah satu SMP di Tarakan, Kalimantan Utara.

Pelajar berusia 15 tahun itu ditemukan sudah tak bernyawa akibat gantung diri di kamar mandi tempat tinggalnya pada Selasa (27/10) lalu. Program pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19 diduga menjadi salah satu pemicunya.

BACA JUGA: Gambar Emmanuel Macron Musuh Islam Tergilas Ban di Gondomanan

KPAI mencatat ini adalah kasus ketiga pelajar meninggal dengan faktor utama penyebabnya karena beratnya menjalani PJJ. Yang pertama siswi SD (8) yang dianiaya saat PJJ, dan kedua siswi SMA di Gowa bunuh diri dengan menenggak racun.

"PJJ kembali memicu depresi, siswa  SMP di Tarakan akhiri hidupnya. KPAI menyampaikan duka mendalam," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan di Jakarta, Jumat (30/10).

BACA JUGA: Kabar Gembira dari Prof Wiku soal Persiapan Vaksinasi Covid-19

Bagi Retno, tewasnya siswa yang berusia 15 tahun tersebut mengejutkan. Apalagi pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk.

Konon, tugas-tugas PJJ itu belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru. Padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut.

BACA JUGA: Sepak Terjang Anggota KKB Rufinus Tigau: Muda, Kejam, Suka Membunuh

"Kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Melainkan adanya akumulasi dan rentetan panjang yang dialami individu tersebut dan dia tidak kuat menanggungnya sendirian," jelas Retno.

Mantan kepala SMAN 3 Jakarta ini menyebutkan, sebenarnya kondisi PJJ sudah berlangsung lama. Artinya, sudah banyak yang mulai bisa beradaptasi. Namun, ada juga yang justru makin terbebani. Salah satunya adalah siswa SMP di Tarakan tersebut.

Retno Listyarti sudah mendengarkan penjelasan rinci dari ibunda korban dalam suatu dialog interaktif di salah satu TV Nasional pada Kamis (29/10) kemarin.

Ibunda korban menjelaskan bahwa anaknya memang pendiam dan memiliki masalah dengan pembelajaran daring.

Korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ daring tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tuga-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan.

Dari penjelasan ibu korban, kata Retno, kesulitan saat PJJ fase pertama masih bisa diatasi karena materi pembelajaran sudah sempat diterima para siswa selama 9 bulan, dan saat PJJ sudah menjelang ujian akhir tahun.

Namun ketika PJJ fase kedua pada tahun ajaran baru (Juli, 2020), saat naik ke kelas IX (sembilan) semua materi baru dan penjelasan materi dari guru sangat minim, sehingga banyak soal dan penugasan yang sulit dikerjakan atau diselesaikan para siswa.

"Akhirnya tugasnya menumpuk hingga jelang ujian akhir semester ganjil pada November 2020 nanti," ujar Retno.

Pada 26 Oktober 2020, ibu korban mengaku menerima surat dari pihak sekolah yang isinya menyampaikan bahwa anak korban memiliki sejumlah tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan anak korban adalah 3-5 tugas per mata pelajaran.

"Jadi bisa dibayangkan beratnya tugas yang harus diselesaikan ananda dalam waktu dekat, kalau rata-rata tiga mata pelajaran saja, ada 33 tugas yang menumpuk selama semester ganjil ini," tutur Retno.

Menurut orang tua korban, anaknya belum menyelesaikan tugasnya bukan karena malas, tetapi memang tidak paham sehingga tidak bisa mengerjakan. Sementara orang tua juga tidak bisa membantu.

"Ibu korban sempat berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait beratnya penugasan sehingga anaknya mengalami kesulitan, namun pihak sekolah hanya bisa memberikan keringanan waktu pengumpulan, tetapi tidak membantu kesulitan belajar yang dialami ananda," tambahnya.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler