Iluni UI Minta Jokowi Tolak Pati Polri jadi Pj Gubernur

Jumat, 02 Februari 2018 – 17:05 WIB
Diskusi bulanan Policy Centre Iluni UI bertajuk Dwifungsi Polri Menjelang Pilkada Serentak di Sekretariat ILUNI UI, Kampus UI Salemba Jakarta, Kamis (1/2). Foto: Iluni UI

jpnn.com, JAKARTA - Rencana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengangkat perwira tinggi (pati) Polri menjadi penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Barat dinilai tidak tepat.

Keinginan Tjahjo itu dinilai bertentangan dengan pasal 201 ayat 10 Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pasal 28 UU Kepolisian Negara, dan Pasal 20 UU Aparatur Sipil Negara (ASN).

BACA JUGA: Zulhas Yakini Jokowi akan Bijak soal Pj Gubernur dari Polri

Karena itu, Policy Centre Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Polcen Iluni UI) meminta Presiden Joko Widodo menolak rencana Tjahjo tersebut.

Polcen Iluni UI juga meminta presiden yang karib disapa Jokowi itu menolak dwifungsi ABRI dan Polri sesuai amanat reformasi 1998.

BACA JUGA: Tjahjo Serahkan Keputusan Pj Gubernur dari Polri ke Istana

Hal itu mengemuka dalam diskusi bulanan Polcen Iluni UI bertajuk Dwifungsi Polri Menjelang Pilkada Serentak di Sekretariat ILUNI UI, Kampus UI Salemba Jakarta, Kamis (1/2).

Diskusi yang dibuka oleh Ketua Umum ILUNI UI Arief Budhy Hardono itu menghadirkan beberapa figur.

BACA JUGA: Zumi Zola Dikabarkan jadi Tersangka, Tjahjo Tunggu Surat KPK

Di antaranya, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Mustafa Fahri, anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafii, pengurus Perludem Titi Anggraini, aktivis reformasi 1998 Ramdansyah, Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Ferry Liando, serta Ketua ILUNI UI Eman Sulaeman Nasim.

Mustafa mengatakan, secara teoretis, Polri adalah lembaga superbodi. Bukan hanya dalam lingkungan eksekutif  untuk menjaga keamanan dalam negeri, tapi juga sebagai bagian dalam yudikatif dalam penegakan hukum.

“Polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Untuk itu, akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat Polri yang masih aktif,” papar Mustafa.

Sementara itu, Muhammad Syafii mengatakan, polisi dilarang melibatkan diri dalam politik praktis sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian Negara.

Karena itu, polisi yang akan mengisi jabatan di luar dinas kepolisian harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari institusinya.

Menurut Syafii, kebijakan yang diambil Kemendagri tidak berorientasi pada state oriented, melainkan government oriented.

“Menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi Polri. Hal itu akan menimbulkan distrust akan peran Polri yang netral dalam pilkada,” papar pria yang biasa dipanggil Romo Syafii itu.

Ferry Liando juga melontarkan pandangan senada. Menurut Fery, perwira aktif Polri yang ditunjuk menjadi penjabat gubernur akan sulit bersikap netral.

“Namun demikian, pejabat sipil yang menjadi penjabat gubernur juga tidak bisa kita jamin dia akan netral,” ujar Ferry.

Di sisi lain, Titi Anggraini sangat menyesalkan sikap Jokowi yang menganggap enteng rencana Tjahjo.

Menurut Titi, Pilkada Serentak 2018 merupakan pemanasan bagi partai politik sebelum bertarung di Pileg dan Pemilu 2019.

Dia menambahkan, pada 2024 mendatang akan ada pilkada serentak tingkat nasional.

Karena itu, penjabat gubernur dan bupati juga akan marak pada 2022 dan 2023.

Menurut Titi, hal itu tidak boleh menjadi pintu masuk kembalinya dwifungsi ABRI.

“Bisa dibayangkan pada 2022 dan 2023 akan dibutuhkan 272 penjabat sementara dari pimpinan madya dan pratama untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah. Semestinya, mulai saat ini Kemendagri sudah menyusun roadmap terkait permasalahan 272 penjabat sementara tersebut,” papar alumnus FHUI itu. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Deddy MIzwar Tegas Tolak Jenderal Polisi jadi Pj Gubernur


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler