ILUNI UI Soroti Efektivitas Sanksi Pelanggaran Protokol Kesehatan di Masa Pandemi

Kamis, 03 Desember 2020 – 14:38 WIB
Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Herzaky Mahendra Putra (kiri atas) saat Webimar soal Efektivitas Sanksi Pelanggaran Protokol Kesehatan di masa Pandemi. Foto: Tangkayan Layar

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Herzaky Mahendra Putra menyatakan masih banyak masyarakat yang belum memandang Covid-19 sebagai hal nyata. Covid-19 masih dianggap sebagai konspirasi dan hanya menyerang kalangan tertentu saja.

Hal ini menunjukkan masih adanya perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap pandemi covid-19.

BACA JUGA: Jelang Pemungutan Suara, Penegakan Protokol Kesehatan Harus Semakin Intensif

Perbedaan pemahaman ini muncul karena perbedaan informasi yang didapat dan pengalaman dalam berhadapan dengan pandemi covid-19. Oleh karena itu, perlu dilakukannya edukasi secara terukur dan terarah sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat.

Edukasi ini harus dilakukan secara konsisten. Setelah itu, baru lah kita bisa berbicara mengenai sanksi. Orang belum paham, masak langsung diberikan sanksi?

BACA JUGA: Tokoh Jayawijaya Papua: Jangan Biarkan, Mereka Jual, TNI dan Polri Beli

Sedangkan sanksi itu sendiri, menurut Herzaky, harus mengandung unsur keadilan, baik di tingkat kebijakan maupun penerapannya. Tidak boleh ada tebang pilih, terutama dalam

penerapannya.

BACA JUGA: Ketua MPR: Kembali ke Desa Adalah Alternatif Pasca-Pandemi Covid-19.

Pakar Kriminologi Universitas Indonesia, Bhakti Eko Nugroho menyebutkan dimensi pelanggaran protokol kesehatan terbagi menjadi dua menjadi dua. Pertama, level individual, pelanggaran protokol sebagai everyday crime. Hal ini menyangkut attitude perorangan & kesadaran individu, jadi penanganannya harus konsisten.

Kedua, level kolektif, pelanggaran protokol sebagai dinamika sosial-politik, menyangkut identitas dan tidak bebas dari kepentingan politiis. Bila pelanggaran individu sudah bergeser menjadi pelanggaran kolektif akan lebih sulit penanganannya.

Beberapa upaya pendisiplinan masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan telah dilakukan oleh Pemerintah, seperti wacana ‘pelibatan pereman’ yang dilakukan oleh Pimpinan Polri. Hal ini dapat timbul karena adanya ketidakpercayaan pemerintah, akibatnya dapat menimbulkan gesekan sosial dan kontraproduktif karena melibatkan ‘kelompok preman’ dalam upaya pendisiplinan masyarakat.

”Kita juga menghargai upaya pemerintah terhadap integrasi dan asimilasi terhadap 39.876 narapidana” tuturnya.

Hal ini menjadi salah satu upaya yang perlu di respon baik. Namun di sisi lain, penahanan tersangka kejahatan tertentu tidak bisa ditangguhkan.

Jumlah orang yang masuk ke tahanan tetap akan ada dan tidak bisa di manage dengan baik. Menjadikan sulitnya penerapan social distancing di dalam penjara, situasi seperti ini dapat mengakibatkan cluster penularan baru.

Bhakti menyebutkan “kebebasan berpendapat versus protokol kesehatan” sering menjadi dilema. Masyarakat seharusnya bisa mengedepankan kesejahteraan bersama di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Salah satu upayanya dengan tidak menyuarakan pendapat secara berkerumun (demo) dan hal sejenisnya terlebih dahulu untuk menekan angka penularan Covid-19.

Menanggapi hal tersebut, Epidemiolog Universitas Indonesia Dr. dr. Tri Yunis Miko sebagai menyatakan protokol kesehatan harus dilaksanakan pada semua aktivitas masyarakat di setiap sektornya untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, protokol kesehatan di masing-masing sektor akan berbeda disesuaikan dengan tingkat resikonya. Misalnya pasti akan ada perbedaan protokol kesehatan di sektor pariwisata, antara tempat wisata indoor dan outdoor.

“Workplace itu juga harus jelas dengan protokol kesehatannya,” katanya.

Community engagement juga sangat penting karena melibatkan protokol kesehatan pada perusahaan-perusahaan, restoran, sekolah, semua harus ikut serta dalam penanggulangan Covid-19.

Dia juga menambahkan, seharusnya upaya pemutusan mata rantai penularan diterapkan mulai dari tingkat individu. Masyarakat diharapkan patuh terhadap protokol kesehatan yang berlaku.

Selain itu protokol kesehatan bukan hanya 3M (Memakai masker, Menjaga jarak, Mencuci tangan menggunakan sabun) namun protokol yang sudah di buat oleh masing-masing sektor harus dilaksanakan dengan baik. Misalnya masyarakat di tempat kerja mematuhi protokol kesehatan di tempat kerja.

“Perlu pendekatan kolaboratif untuk mendisiplinkan masyarakat yang heterogen, seperti di Indonesia. Dapat berupa gabungan dari pendekatan edukatif, persuasif, promotif, ataupun diktatif. Hal ini disesuaikan dengan masing-masing karakteristik dari suatu kelompok masyarakat. Sulit mendisiplinkan masyarakat apabila tidak ada sanksi hukum yang adil dan menyeluruh,” tukas dia.

Bicara new normal, Miko berpendapat seharusnya dilakukan pemenuhan terhadap enam kriteria WHO sebelum memberlakukan new normal pada suatu wilayah: (1) Penularan Covid-19 dikendalikan ke tingkat kasus sporadis dan kelompok kasus; (2) Sistem kesehatan yang memadai dan kapasitas kesehatan masyarakat tersedia untuk melakukan: detection, testing, isolation, dan quarantine.

(3) Risiko wabah di lingkungan dengan kerentanan tinggi dapat diminimalkan; (4) Tindakan pencegahan di tempat kerja sudah ditetapkan; (5) Risiko penanganan kasus impor dapat dikelola dengan baik; (6) Komunitas terlibat penuh.

“Indonesia belum memenuhi persyaratan tersebut namun sudah memberlakukan new normal, sehingga kasus positif Covid-19 kembali melonjak” tambahnya.

Herzaky menambahkan Pemerintah seharusnya bisa mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan atau “guide by science not by politics”, jangan menjadikan isu Covid-19 sebagai komoditas politik. Ini isu kesehatan yang memiliki dampak ekonomi yang sangat kuat.

”Perlu ada pemetaan wilayah terdampak pandemi covid-19 ke dalam green zone, yellow zone, dan red zone. Penerapan suatu kebijakan dan sanksi tidak boleh disamaratakan antara red zone, yellow zone dan green zone” tekannya.

Herzaky juga meminta para tokoh publik, para pemimpin formal maupun informal, untuk memberikan teladan dalam penerapan protokol kesehatan maupun ikut memberikan pemahaman kepada publik, massa, pendukung, pengikut, bawahannya, mengenai isu pandemi covid-19 ini dan pentingnya menerapkan protokol kesehatan. Bagaimanapun, Indonesia ini kulturnya masih mengikuti, mencontoh perilaku dan arahan pemimpinnya.

Lebih lanjut, terkait penanganan Covid-19. Miko menambahkan pesan kepada Satgas Penanganan Covid-19, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota bahwa harus mempunyai perspektif yang sama terhadap upaya penanganan Covid-19.

Tidak lagi menggunakan pendekatan 3T (Test, Trace, Treat) yang dianggap kurang efektif dan membutuhkan waktu lama, namun menggunakan pendekatan yang lebih detail lagi terhadap penanggulangan Covid-19.

“Pentingnya keberadaan norma, kedisiplinan warga, dan konsistensi aparat sehingga adanya percepatan penanganan pandemik dan pemulihan pascapandemi” ujar Bhakti Eko Nugroho sebagai Kriminolog UI.

“Penerapan sanksi yang benar tidak boleh “tebang pilih”, sehingga dalam penerapannya harus dilakukan edukasi dan sosialisasi secara konsisten kepada masyarakat” tambahnya. Edukasi yang dilakukan oleh Pemerintah kepada masyarakat harus konsisten dan berkelanjutan.(fri/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler