ILUNI UI Teropong Pemimpin Indonesia 2045 Lewat Riset Masa Depan 

Selasa, 10 November 2020 – 22:53 WIB
Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian. Foto tangkapan layar zoom

jpnn.com, JAKARTA - Revolusi digital dan pandemi COVID-19 akan memengaruhi masa depan Indonesia menjelang usia 100 tahun di 2045.

Namun, bagaimana masa depan Indonesia perlu sebuah skenario yang direncanakan.

BACA JUGA: Duh, Rahayu Saraswati Dinilai Menunjukkan Ciri-Ciri Pemimpin Represif

Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian menekankan pentingnya perencanaan Indonesia 2045 dari saat ini.

Banyak game changer di beberapa tahun belakangan, mulai dari revolusi 4.0, masuknya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dan pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Terima Kunjungan Eri Cahyadi, Muhammadiyah Sampaikan Kriteria Pemimpin Surabaya

"Semuanya itu membuat kita harus bersiap dan menjadi orang-orang yang tahan dan agile akan segala macam perubahan,” kata Andre dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Riset Masa Depan Indonesia: Manusia dan Pemimpin Indonesia 2045 secara virtual, Selasa (10/11).

Andre menyampaikan riset Masa Depan Indonesia: Manusia dan Pemimpin Indonesia 2045 menjadi riset komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan menuju Indonesia di tahun 2045.

BACA JUGA: Sumbawa Perlu Pemimpin yang Cerdas untuk Mengurangi Pengangguran

Yaitu para mahasiswa dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa UI (BEM UI), serta para alumni dan akademisi UI.

“Kami harapkan juga masukan dari guru-guru besar UI. Semoga hasil risetnya bisa jadi masukan untuk pemangku kepentingan,” imbuh Andre.

Ketua ILUNI UI Rahmat Yananda mengungkapkan, proyek riset bertajuk ‘Masa Depan Indonesia: Manusia dan Pemimpin Indonesia 2045’ ini merupakan perencanaan skenario manusia Indonesia untuk menghadapi situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexcity, Ambiguity) akibat revolusi digital dan pandemi COVID-19.

“Pandemi akan menjadi kekuatan primer menambah ketidakpastian dan kompleksitas serta mempengaruhi perkembangan megatren. Untuk itu, kegiatan riset ini mencoba mengantisipasi masa depan Indonesia menjelang berusia 100 tahun,” kata Rahmat.  

Dia menjelaskan, VUCA menjadi isu penting untuk menghadapi dunia yang tidak pasti.

Manusia saat ini tidak bisa hidup dalam situasi statis dan harus siap dengan situasi kekacauan (chaos).

VUCA dinilai jadi determinan utama dalam menentukan arah tren ke depan.

”Kita tidak membayangkan dunia akan meredup selama 7 bulan semenjak virus COVID-19 diumumkan menyebar di Wuhan. Dalam lima tahun pertumbuhan ekonomi bertahan di 5 persen, lalu tiba-tiba dalam waktu sebentar jadi minus,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjabarkan perencanaan skenario akan menggunakan kerangka waktu dan peta jalan selama 25 tahun, terhitung dari 2020 sampai dengan 2045.

Riset gabungan ILUNI 4.0, Policy Center, dan ILUNI UI ini disebut akan mengangkat lima isu yakni teknologi informasi, COVID-19 dalam aspek psikologi sosial di Indonesia, globalisasi, perempuan dan lingkungan, serta demografi dan gender.

“Sebelum riset tersebut dilaksanakan, ILUNI UI memerlukan masukan dan saran dari berbagai pihak agar riset yang dihasilkan komprehensif dan telah dilakukan review oleh ahli dan akademisi UI,” sebut Rahmat.

Dalam pemaparannya, Ketua ILUNI 4.0 Fithra Faisah Hastiadi mengatakan, banyak pakar menyebut bahwa COVID-19 mempercepat perubahan masa depan.

Selanjutnya, dari pertumbuhan ekonomi terkontraksi dua kuartal berturut-turut, ternyata sektor Informasi, Komunikasi, dan Teknologi justru tumbuh di atas rata-rata.

"Ada perubahan perilaku karena orang-orang bekerja lebih efektif dan efisien. Di sisi lain ada tantangan karena kita berada dalam bonus demografi,” ungkapnya.

Pakar ekonomi UI itu menyebutkan hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB UI) bahwa peluang bonus demografi akan selesai di tahun 2030.

Sementara, untuk bisa lolos dari Perangkap Pendapatan Menengah (Middle Income Trap), bonus demografi tersebut harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6-6.5%.

Pertumbuhan tersebut harus ditopang dengan pertumbuhan produktivitas.

Namun, permasalahan lainnya dari 7 juta pengangguran, 4 juta penduduk berusia 15-24 tahun mendominasi angka pengangguran.

“Segala permasalahan tadi kuncinya cuma satu, yaitu pendekatan teknologi. Untuk membuat pertumbuhan lebih inklusif, maka teknologi juga lebih inklusif. Pemberdayaan dari masyarakat di level terbawah hanya bisa terjadi kalau masyarakatnya sudah berdaya dan bisa memanfaatkan teknologi dengan baik,” pungkas Fithra. (esy/jpnn)

 

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler