Imparsial Adukan Pelanggaran HAM Kasus JIS ke Kompolnas

Kamis, 29 Januari 2015 – 13:56 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Keluarga para pekerja kebersihan yang menjadi terdakwa kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) terus mencari keadilan. Didampingi Imparsial, mereka meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melakukan investigasi dugaan penyiksaan yang terjadi selama proses penyidikan di Polda Metro Jaya.

Aktivis Imparsial, Ghufron Mabruri mengatakan laporan ke Kompolnas sudah dilakukan beberapa hari lalu. Dalam laporan itu juga disertai bukti-bukti berupa foto dan keterangan keluarga serta istri pekerja kebersihan yang menunjukkan adanya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM dalam kasus ini.

BACA JUGA: Sindiran Pedas BW Saat Laporkan Bareskrim ke Ombudsman

Salah satu yang disebut Ghufron adalah kematian Azwar, salah satu pekerja kebersihan PT ISS yang bekerja di JIS. Ia tewas saat proses penyidikan di Polda Metro Jaya dengan sekujur wajah bengkak, mata lebam biru dan bibir robek.

Hal itu menjadi indikasi kuat bahwa kasus iitu penuh rekayasa. Apalagi ada tuntutan uang hingga mencapai sekitar Rp 1,5 triliun dari pelapor kasus ini, yaitu TPW.

BACA JUGA: Kalau Cuma BG jadi Tersangka, KPK Cemen, Panggil Emaknya!

"Bukti-bukti berupa foto dan keterangan dari keluarga korban memperlihatkan adanya penyiksaan yang luar biasa selama penyidikan. Karena itu kami meminta Kompolnas investigasi secara independen untuk mengungkap kasus ini," kata Gufron, Kamis (29/1).

Menurutnya, sekarang momentum yang tepat untuk membersihkan kepolisian dari pelanggaran HAM. Dalam waktu dekat, Imparsial akan menggelar pertemuan dengan Kompolnas.

BACA JUGA: Harusnya Bentuk Tim Etik, Bukan Tim 9

Ghufron menambahkan, Kompolnas sebagai pengawas kinerja kepolisian harus dapat mengungkap pelanggaran yang diduga dilakukan polisi terhadap pekerja kebersihan ISS di JIS selama proses penyidikan. Menurutnya,  kekerasan itu sudah di luar batas kemanusiaan.

Bukan hanya Azwar saja yang diduga mengalami siksaan. Misalnya, Virgiawan Amin, Agus Iskandar, Syahrial dan Zainal Abidin.

Pekerja kebersihan PT ISS lainnya juga mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, jari dijepit kaki kursi, dipaksa minum dua botol sambal, muka ditendang, serta mata, mulut dan hidung dilakban. Sedangkan  satu terdakwa lainnya, Afrischa Setyani yang didampingi pengacara selama penyidikan, lolos dari siksaan.

Sementara salah satu anggota Kompolnas, Andrianus Mailala mendukung langkah keluarga terdakwa untuk mengumpulkan bukti-bukti kekerasan dan penyiksaan selama proses penyidikan kasus JIS di Polda Metro Jaya. "Silahkan mereka melaporkan ke kami, nanti kita lihat bukti-buktinya," kata kriminolog dari UI ini.

Menurut dia, bukti-bukti tersebut bisa berupa bekas luka akibat sudutan rokok, bekas pukulan dan tindak kekerasan selama proses penyidikan polisi. "Kita bisa teruskan hasil uji laporan kita ke polisi," jelasnya.

Aktivis HAM dari KontraS, Alex Argo Hernowo menegaskan, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap murid TK di JIS memunculkan sensitivitas publik. Namun, katanya, bukan berarti proses hukumnya dijalankan dengan asal-asalan.

"Keterangan keluarga mereka dan foto-foto bisa menjadi bukti untuk melaporkan ke Propam, ombudsman dan Kompolnas. Kalau saat persidangan mereka mencabut keterangan di BAP, itu bisa menjadi pintu masuk," jelas Alex ketika diminta pendapatnya terkait kasus JIS.

Sebelumnya, dalam persidangan dengan terdakwa dua guru JIS, terungkap adanya fakta baru. Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta mengatakan bahwa hasil pemeriksaan medis terhadap MAK, salah satu siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, bukanlah visum yang konklusif karena hanya sementara.

Pasalnya, pemeriksaan terhadap MAK hanya dilakukan di UGD dan tidak melalui mekanisme visum yang benar. Pada saat pemeriksaan awal,  Dr Lutfi menjelaskan, di lubang pelepasan MAK ditemukan adanya nanah. Untuk mengetahui penyebabnya, Dr Lutfi meminta TPW, ibu MAK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan mengenai kondisi si anak.

Akan tetapi hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK. Dr Lutfi mengungkapkan, pihaknya tidak pernah melakukan swap atau pengujian terkait dengan nanah di lubang pelepas MAK.

Patra M. Zen, kuasa hukum Agun Iskandar, mengatakan, semua keterangan Dr Lutfi merupakan fakta baru dan sangat penting untuk mengungkap kebenaran dalam kasus ini. Pasalnya, dalam sidang yang melibatkan para pekerja kebersihan, majelis hakim menjadikan hasil visum RSPI ini sebagai dasar pertimbangan menjatuhkan vonis.

"Dr Lutfi sebagai pihak yang memeriksa korban tidak pernah dihadirkan sebagai saksi atau ahli dalam sidang pekerja kebersihan. Sementara hasil pemeriksaannya dijadikan dasar untuk menghukum orang. Keterangan Dr Lutfi dalam sidang guru kemarin kembali menegaskan bahwa sesungguhnya sodomi itu tidak pernah ada," tegas Patra.

Kini, kelima terdakwa perkara itu masih menempuh proses banding. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Desember 2014 lalu menjatuhkan hukuman 7 hingga penjara. Sedangkan keempat rekan kerja Afrischa dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.(boy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Yuddy Selesaikan Pekerjaan di Media Center


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler