Impor Beras Era Jokowi Tembus Rp 15,7 Triliun

Selasa, 11 Juli 2017 – 08:36 WIB
Ilustrasi beras. Foto: Radar Semarang/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah selalu mengklaim bahwa harga pangan lebih terkendali.

Namun, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) justru menemukan hal bertolak belakang.

BACA JUGA: MDHW Gelar Halaqah Nasional Alim Ulama untuk Perangi Paham Islam Radikal

Berdasarkan kajian Indef, kebijakan pangan pemerintah masih jauh dari optimal. Stabilisasi harga juga tampak semu.

Direktur Utama Indef Enny Sri Hartati mencontohkan, pemerintah menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis dapat tercapai dalam tiga tahun.

BACA JUGA: Unik Banget, Ultah Jokowi, Ahok, dan Djarot Berurutan

Misalnya, padi, jagung, kedelai, dan gula. Untuk menggapai target ambisius tersebut, anggaran ditingkatkan secara signifikan.

Namun, besarnya anggaran itu tidak sejalan dengan hasil yang didapat.

BACA JUGA: 2 Pesan Penting Jokowi untuk Diaspora Indonesia

Anggaran kedaulatan pangan melonjak hingga mencapai 53,2 persen dari Rp 67,3 triliun pada 2014 menjadi Rp 103,1 triliun pada 2017.

Namun, tingginya alokasi anggaran tersebut belum optimal untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

”Dalam konteks pajale (padi, jagung, dan kedelai), misalnya, tren peningkatan anggaran di tiga komoditas pangan itu tidak secara merata dan optimal mengakselerasi produksi dan produktivitas,” beber Enny, Senin (10/7).

Selain itu, menurut Enny, ketergantungan impor masih sangat tinggi.

Data pemberitahuan impor barang (PIB) di Ditjen Bea Cukai Kemenkeu menunjukkan bahwa impor beras pada 2016 sebesar 1,3 juta ton.

Lalu, Januari–Mei 2017 impor komoditas mencapai 94 ribu ton.

Selain itu, impor jagung disetop. Namun, impor gandum meningkat.

”Kementan menghentikan impor jagung secara mendadak. Akibatnya, 483.185 ton jagung impor sempat tertahan di pelabuhan serta berdampak pada peningkatan harga pakan ternak sekitar 20 persen,” urainya.

Di sisi lain, ekonom senior Indef Bustanul Arifin mengatakan, impor beras era pemerintahan Jokowi mencapai 2,74 juta ton dengan nilai Rp 15,7 triliun.

Impor dilakukan sebanyak 503 ribu ton pada akhir 2014, 861 ribu ton pada 2015, 1,2 juta ton pada 2016, lalu 94 ribu ton pada Januari–Mei 2017.

”Kalau alasannya impor sisa tahun sebelumnya, tidak mungkin angkanya sebesar ini. Dan, jika pemerintah mengatakan yang diimpor itu beras premium, beras khusus diabetes, menurut saya tidak sampai sebesar itu, ya,” beber Bustanul.

Selain itu, Indef menyinggung stabilitas harga yang diklaim stabil oleh pemerintah.

Indef menilai stabilitas harga tersebut berada pada level yang tinggi.

”Iya, stabil, tapi stabil tinggi. Berdasar hasil pemantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga di pasar masih cenderung lebih tinggi 10–30 persen jika dibandingkan dengan harga acuan. Jadi, kalau dikatakan lebih stabil, ini stabilisasi harga pangan semu,” ujar Enny.

Semenara itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti menanggapi paparan Indef tersebut dengan singkat.

”Yang pasti, secara nyata harga saat ini relatif stabil, bahkan menurut beberapa pengamat juga demikian. Pengalaman kemarin akan kami jadikan dasar untuk menyusun sistem stabilisasi harga bahan pokok ke depan,” ucap Tjahja saat dihubungi Jawa Pos. (agf/c11/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aspeksindo Segera Dibentuk, Asosiasi Daerah Kepulauan Jadi Kenyataan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler