Analis ekonomi nasional Australia mengatakan impor bahan pangan Australia akan meningkat 20 kali lipat pada tahun 2050 senilai US$150 miliar.Prakiraan yang disampaikan analis ini mewakili peluang signifikan bagi eksportir Australia yang saat ini sudah lebih dahulu mengekspor dalam jumlah banyak sejumlah komoditi seperti ternak sapi hidup, gandum, gula dan produk lainnya ke Indonesia setiap tahun. Tapi melonjaknya permintaan bagi makanan dengan kadar protein dan makanan berkualitas tinggi bagi jumlah penduduk kalangan menengah atas perkotaan ini juga akan meningkatkan persaingan bagi pasar Australia. Kepala analis komiditas, Jammie Penm mengatakan laporan ABARES mengenai "Apa yang Diinginkan Pasar Indonesia" menunjukan peluang pasar terbesar tampaknya masih akan direbut oleh eksportir daging, susu dan buah serta sayuran. "Dalam kasus di Indonesia, tingkat konsumsi perseorangan di Indonesia saat ini masih rendah. tapi dengan pertumbuhan pendapatan, di masa depan kita perkirakan permintaan akan meningkat signifikan pada periode tahun 2050," katanya. "Dengan urbanisasi, peningkatan pendapatan, kita prediksi permintaan daging sapi berkualitas tinggi akan meningkat signifikan; dan akan ada juga perilaku diet yang beragam; perubahan orientasi pangan dari produk berbahan dasar nasi ke produk berbahan dasar gandum, dari nasi ke makanan yang lebih berasal dari bahan dasar protein," Sementara ABARES memperkirakan produksi pangan Indonesia sendiri akan mengalami peningkatan dua kali lipat dari segi nilai pada tahun 2050, menjadi US$152 miliar, namun impor masih akan memainkan peran penting di Indonesia. Pada tahun 2014, setengah dari gandum yang diimpor Indonesia berasal dari Australia, yang mewakili 20 persen dari total ekspor gandum Australia. Indonesia saat ini merupakan pasar eksport terbesar Australia untuk produk gandum. Jammie Penm mengatakan negara-negara lain akan tertarik untuk memasok gandum ke Indonesia mengingat permintaan gandum Indonesia terus berkembang. Manajer akses perdagangan dan pasar dari GrainGrowers, Cheryl Kalisch Gordon memperingatkan Australia tidak bisa berharap dapat memenuhi kebutuhan gandum Indonesia yang terus meningkat sekitar 10 persen per tahun sendirian, karena pertumbuhan produktivitas gandum Australia sendiri hanya meningkat sekitar 2 persen per tahun saja. Menurutnya industri gandum Australia tidak mampu menjadi pemasok tunggal. "Kita perlu mengandalkan begitu saja pasar Indonesia yang penting ini, kita sebenarnya perlu membuat usaha yang strategis di pasar Indonesia," kata Dr Kalisch Gordon. Selain itu meski Australia tampak memiliki keuntungan dari segi geografis dibanding kawasan pengekspor gandum lainnya di Amerika Utara dan Laut Hitam, Dr Kalisch Gordon mengatakan namun hal itu bukan faktor yang menentukan. "Yang perlu kita lakukan adalah memastikan kita mempertahankan posisi sebagai penghasil tepung gandum berkualitas bagus," katanya. "Anda akan mendapatkan banyak sekali produk gandum baru yang berasal dari Laut Hitam yang akan turut dikirimkan ke Indonesia juga dimasa depan, terutama ketika biaya bongkar muat menurun seperti terjadi belakangan ini tergantung musimnya juga dan Anda juga akan mendapati gandum datang dari India dan itu memang gandum berkualitas rendah," "Pada tingkat kualitas yang lebih tinggi, Australia juga akan mendapat pesaing kuat - terutama karena biaya angkut yang lebih murah seperti Kanada dan Amerika Serikat. "Kanada dan AS telah melampaui Australia dalam arti mendidik pembeli mengenai kualitas gandum mereka,' katanya. "Bagi banyak importer, bisa menjadi pemasok utama impor gandum ke pasar Indonesia seperti yang saat ini diraih Australia sangat penting dan kita bisa melakukan itu,"
BACA JUGA: Parlemen Australia Bolehkan Anggotanya Menyusui di Ruang Sidang
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kelompok Kristen di Melbourne Dituduh Sebarkan Ajaran di Pusat Penitipan Anak