Impor Sektor Pangan Banyak yang Berbohong

Analisa KPK di Regulasi Sektor Pangan

Minggu, 08 September 2013 – 10:54 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Keberadaan kartel dalam regulasi sektor pangan nampaknya bakal menjadi salah satu fokus perhatian Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Dari hasil analisa KPK, munculnya kartel pangan disebabkan oleh regulasi yang memudahkan para oknum itu leluasa mempermainkan harga pangan.

Regulasi sektor pangan banyak melahirkan kartel. Yang seharusnya impor, terus dilakukan impor,” ujar Ketua KPK, Abraham Samad saat menjadi pemateri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Ecopark Convention, kawasan Ancol, Jakarta, kemarin (7/9).
 
Abraham menyatakan, alasan dilakukannya impor pangan sejatinya sederhana. Sebagaimana sektor lain, impor dilakukan jika ketersediaan bahan yang dibutuhkan secara domestik tidak mencukupi. Namun, kenyataannya, produksi pangan Indonesia masih berlimpah.
 
"Karena banyak lubang (regulasi), keran impor terus dibuka. Pengusaha tertentu diuntungkan, sementara petani kita akan mati," ujar Abraham mengingatkan.
 
Oleh karena itu, ujar Abraham, regulasi sektor pangan perlu diperbaiki. KPK saat ini sudah melakukan penelitian. Banyaknya berbagai macam impor, mulai dari gula hingga daging sejatinya adalah bohong. "Keperluan impor ini semua bohong, karena sentra kebutuhan kita semua ada di Indonesia Timur," ujarnya.
 
Sebagai contoh, kebutuhan masyarakat terkait daging. Menurut Abraham, wilayah Indonesia Timur masih kaya akan daging sapi. Namun, sejumlah oknum melakukan praktek penyimpangan dengan memindahkan sapi itu ke wilayah Kalimantan atau Sulawesi.
 
"Kami memeriksa seberapa banyak kebutuhan daging di wilayah itu. Ternyata daging sapi banyak diselundupkan. Sehingga kita harus impor," ujarnya.
 
Di sektor sumber daya alam, KPK menurut Abraham mendapati sekitar 50 persen pengusaha tambang tidak membayar pajak dan royalti. Penelitian KPK terhadap sektor ketahanan dan energi, potensi energi Indonesia saat ini masih tinggi. "Pada tahun 2012, ada 45 blok yang sudah beroperasi. Diantaranya Blok Cepu, Madura dan Mahakam," ujarnya.
 
Kepemilikan pemerintah dalam blok tersebut, ujar Abraham, masih minoritas. Pemerintah setidaknya hanya memiliki 30 persen dari masing-masing pendapatan blok. Padahal, jika pemerintah memiliki 60 persen kepemilikan, maka pendapatan negara akan terdongkrak naik. "Di Mahakam misalkan, kita akan mendapat 120 triliun. Kalau kita menasionalisasi seluruh blok dari 30 persen menjadi 60 persen, kita bisa mendapatkan 7.200 trilliun," ujarnya.
 
Pendapatan itu, ujar Abraham, baru sebatas dari sektor migas saja. Di keseluruhan sektor sumber daya alam, mulai dari minyakm gas, nikel, jika keseluruhan itu dibuka, maka pendapatan negara akan mencapai kisaran Rp 20.000 triliun.

BACA JUGA: Petugas Haji Disambut Terik Matahari

"Nasionalisasi harus 60 persen, 40 persen asing. Kita harus perketat izin tambang, supaya dia bisa bayar royalti dan pajak," ujarnya. (bay)

BACA JUGA: Polres Jaktim Benarkan Anak Ahmad Dhani Kecelakaan, 6 Tewas

BACA JUGA: Kiai Sahal Minta NU Jalankan Politik Tingkat Tinggi

BACA ARTIKEL LAINNYA... Abraham: Mudah-mudahan Minggu Depan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler