Impor Tersendat Aturan Baru API

Demurrage Membengkak Ancam Importer

Rabu, 05 Desember 2012 – 02:20 WIB
SURABAYA - Arus barang-barang impor terancam tersendat pada awal tahun depan. Kondisi tersebut berpotensi terjadi, terutama kalau para importer belum memiliki angka pengenal impor (API) berdasar ketentuan yang baru. Apalagi, sampai sekarang belum semua importer memenuhi kewajiban tersebut.
      
Padahal, API yang baru diberlakukan per 1 Januari 2013 nanti, sehingga kesempatan untuk memproses API yang baru tinggal satu bulan ke depan. Ketentuan API yang baru itu tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 59/2012 sebagai pengganti Permendag 27/2012.
         
Ketua Gabungan Importer Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jatim Bambang Sukadi mengatakan, para importer mau tidak mau harus menyesuaikan dengan aturan baru tersebut. Menurutnya, jika sampai pada tanggal yang ditetapkan belum memiliki API yang baru maka barang-barang yang diimpor terpaksa nongkrong di pelabuhan.

"Bahkan dalam hal ini pihak bea dan cukai sudah komitmen, kalau tidak memiliki API, maka akan ditolak," katanya setelah Sosialisasi Permendag 59/2012, Selasa (4/12).
 
Dikatakan, sebenarnya yang menghantui para importer ialah kalau terpaksa menanggung biaya yang membengkak. Terutama, bila mereka belum memenuhi persyaratan, sehingga barang impor tertahan di pelabuhan.

"Mereka harus menanggung biaya demurrage (biaya tambahan dari maskapai pelayaran terhadap penambahan waktu dari pemakaian kontainer yang digunakan oleh pihak penyewa, Red). Ditambah sewa gudang yang juga bakal membengkak," ucapnya.

Bahkan, lanjut dia, bukan tidak mungkin barang impor yang sudah telanjur berada di pelabuhan harus kembali ke negara asal lantaran terjadi penumpukan. "Seperti kasus impor hortikultura beberapa waktu lalu, harus dikembalikan ke negara eksporter," katanya mencontohkan.

Bambang mengatakan, biaya yang ditanggung tiap importer berbeda-beda. "Tapi, yang namanya orang dagang kalau rugi maka tutup. Sebab, berdagang itu karena ada disparitas harga, nah kalau sudah tidak ada lagi bagaimana," tandasnya.

Bambang mengatakan, waktu yang singkat ini akan dimanfaatkan pengusaha untuk mendapatkan API yang baru. Total di Jatim tercatat terdapat 500 importer yang aktif. "Bagaimana juga kami tidak bisa meminta aturan ini ditunda. Melainkan, kami menginginkan kesiapan instansi terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan," tandas dia.

Seperti diketahui untuk mendapatkan API yang baru, importer harus mendaftar ke Disperindag. Sedangkan bagi perusahaan modal asing mendaftar ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat Ginsi Khairul Mahalli menambahkan untuk mendapatkan API yang baru tidak sulit. "Kalau seluruh persyaratan lengkap, mudah untuk mendapatkan. Setidaknya, proses perizinan hanya perlu waktu 7-10 hari. Memang, salah satu yang menjadi kendala, para importer harus meyakinkan para supplier di luar negeri terkait aturan yang baru.

Sementara Kepala Subdirektorat Barang Kimia, Tambang dan Limbah Kementerian Perdagangan Eka Dian Dharma menjelaskan aturan baru tersebut justru akan melindungi para importer yang benar. Serta, pengaturan tersebut sekaligus untuk mendorong pembangunan industri di dalam negeri.

"Karena itu dalam pelaksanaannya akan ada pengawasan terhadap pemilik API dan produsen importer yang meliputi, kebenaran laporan, kesesuaian barang yang diimpor dan kepatuhan terhadap aturan impor. Bila sampai melanggar, API yang dimiliki akan dicabut," tandas dia.

Dikatakan, aturan yang baru itu memberi kesempatan bagi importer untuk mengimpor barang lebih dari satu section. Syaratnya, perusahaan yang memiliki API-Umum itu memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri sebagai pemilik barang. Selain itu, modal perusahaan API-U itu merupakan milik pemerintah atau BUMN. "Sedangkan kalau hanya satu section, tentu sulit bagi perusahaan. Seperti, wajib mengubah API," katanya. (res/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wilmar Investasi Rp7 Triliun di Tarakan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler