Omzet Peritel Offline Turun, Ternyata Ini Pemicunya

Rabu, 08 November 2017 – 20:15 WIB
Uang rupiah. Foto ilustrasi: istimewa

jpnn.com, SUMSEL - Turunnya omzet peritel offline (konvensional) belakangan bukan karena semata-mata perubahan pola belanja konsumen ke transaksi online.

Pemicunya, karena pendapatan masyarakat yang tidak bertumbuh (stagnan).

BACA JUGA: Peluru Meleset, Andika Selamat dari Tembakan

"Online bukan satu-satunya faktor. Hasil survei Nielsen, market online itu hanya satu persen dari seluruh ritel,” ujar Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Sumsel, Co Ing saat Focus Group Discussion “Mencermati Penurunan Daya Beli Ritel di Sumsel” di Kantor Graha Pena, Sumatera Ekspres (Jawa Pos group), kemarin (7/11).

Apalagi, kata dia, peritel modern juga sudah masuk pasar online seperti Matahari dan Hypermart yang memasarkan produk via website.

BACA JUGA: Pengusaha Retail Harus Paham, Orang Belanja tak Mau Ribet

"Sekarang ini, pendapatan masyarakat tidak bertumbuh (stagnan), jadi untuk survive konsumen harus menyesuaikan dengan pendapatan (mengurangi belanja, red). Rata-rata itu konsumen menengah ke bawah, dan 60 persen konsumsi ritel ini mereka,” bebernya.

Sebaliknya, kalangan menengah ke atas justru bertahan. “Orang kaya itu bukannya mereka tidak punya daya beli, tetapi mereka wait & see. Tipikal konsumtif konsumen sekarang makin cerdas belanja. Jika ada diskon, mereka akan belanja,” ujarnya.

BACA JUGA: Mobil Tahahan Terguling, Sidang Terpaksa Dibatalkan

Lalu apakah karena mall over supply sehingga market terbagi-bagi? Menurut Co Ing tidak juga, yang terjadi masalah income per kapita masyarakat tidak tumbuh.

Karena itu semua bisnis, termasuk ritel harus melakukan penyesuaian dengan perubahan pola market saat ini. Baik karena destruction economy (tekanan ekonomi) maupun perubahan daya dan gaya beli konsumen.

“Jika mengikuti itu, maka ritel akan berkembang. Ritel harus mampu menangkap peluang,” sebutnya.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus berperan untuk menjembatani peritel offline dan online. Ritel offline tentu menuntut kesetaraan, karena orang belanja online tidak dikenakan pajak. Bahkan seharusnya pajak online itu dibesarkan karena mereka tidak punya tempat.

“Ini harus cepat-cepat diantisipasi supaya ritel bisa bersaing sehat,” imbuh Mall Director Palembang Icon ini.

Bendahara DPD Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) Sumsel, Arvan Zulhandy juga meyakini, dunia ritel di Sumsel khususnya masih berkembang.

“Kita tertolong tren wong Sumsel suka belanja,” cetusnya. Tapi dia tak menampik, beberapa ritel ada yang tutup, tapi walau begitu ada juga ritel yang buka cabang. Jadi sebenarnya, peritel itu melakukan optimalisasi operasional.

Dia mengakui jika market ritel turun, tapi sebenarnya potensi market masih bisa digarap. “Sekarang bagaimana kita mengatur core business ini. Apa yang merugikan kita sisihkan, apa yang baru seperti online kita ikut garap,” ujarnya. Makanya toko offline pun mulai rambah online seperti Ramayana join Tokopedia.

“Ritel masih bisa hidup tergantung strategi pasarnya,” lanjut Store Manager Ramayana Palembang ini. Walaupun begitu, pemerintah punya peran yang besar untuk mengatur persaingan toko offline dan online, jangan 'gontok-gontokkan' seperti transportasi online dan konvensional. “Harus ada aturan yang jelas,” bebernya.

Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Sumsel, Agus Yudiantoro, menerangkan pada prinsipnya pemerintah mendukung ritel offline maupun online.

“Namanya kemajuan teknologi tak bisa dihindari, toko online bisa jual murah karena cost-nya kecil tidak perlu tempat,” ujarnya. Meski begitu, supaya ada kesetaraan belanja online memang harus dikenakan pajak. "Kan kasihan toko offline investasi buka toko ratusan miliar dan dipungut pajak, tapi toko online justru tidak kena."

Dia mengingatkan ketatnya persaingan bukan terkait online saja, tapi kondisi market ini yang tidak bertambah. “Kalau saya lihat konsumen itu-itu saja, tidak nambah-nambah, tapi pusat perbelanjaan ini terus bertambah,” ujarnya. Artinya ada perebutan market, sehingga peritel pun harus bisa berimprovisasi untuk gaet konsumen. Bahkan harusnya ritel modern lebih murah dari warung.

“Konsumen ini kan kian cerdas karena perubahan milenial dan gaya beli,” sebutnya. Dia juga mengakui persoalan daya beli. Sebab jika karet sedang bagus, maka orang lebih semangat berbelanja karena income-nya lebih, tapi juga sebaliknya.

Nah, kondisi income tidak naik itu yang terjadi saat ini karena faktor fluktuasi harga komoditas. “Karet Sumsel ini sudah bagus, tapi karet banjir di dunia buat harganya jatuh,” ujarnya.

Jadi sebagai solusi meningkatkan daya beli dan harga komoditas, maka industri hilir harus diwujudkan guna meningkatkan value added dari komoditas. “Industri hilir ini akan menjadi sumber pemacu ekonomi baru bagi Sumsel,” bebernya.

Terpisah, Kepala BPS Sumsel, Yos Rudiansyah SE MM menambahkan penggerak ekonomi Sumsel ini cukup beragam. Ada konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi fisik, dan nett ekspor. “Memang sampai triwulan III 2017 konsumsi mengalami perlambatan, tetapi investasi fisik dan ekspor sangat tinggi pertumbuhannya,” sebutnya.

Diakuinya, melambatnya konsumsi rumah tangga karena kelompok menengah atas banyak meanbung sehingga konsumsinya terbatas.

“Sementara kelompok masyarakat bawah masih seperti biasa konsumsinya, dengan bekerja sebagai apa saja misalnya buruh bangunan, petani, atau buruh perdagangan di saat harga komoditas primer rendah,” pungkasnya. (cj10/rip/fad/ce1)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perampok Baku Tembak dengan Polisi di Musi Rawas


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler