Indeks Keselamatan Jurnalis Terbaru, 45 Persen Pernah Mengalami Kekerasan

Jumat, 29 Maret 2024 – 10:33 WIB
Acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, Kamis (28/3). Foto: dok Yayasan TIFA

jpnn.com, JAKARTA - Keselamatan jurnalis Indonesia masih belum sepenuhnya terjamin karena ada ancaman yang datang dari negara dan organisasi masyarakat (ormas).

Temuan tersebut didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung oleh Kedutaan Belanda.

BACA JUGA: Perkenalkan Produk Unggulan, Midea Ajak Teknisi AC dan Jurnalis ke Pabrik di Thailand

Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Oslan Purba mengatakan indeks itu bertujuan untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh jurnalis, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia.

“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” jelas Oslan dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, Kamis (28/3).

BACA JUGA: Gelar Lomba Karya Jurnalistik, Kapolda Riau Pastikan Program Cooling System Pemilu Sukses

Oslan menjelaskan Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori “Agak Terlindungi.”

Skor ini di antaranya disumbang oleh angka kekerasan yang dialami jurnalis baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.

BACA JUGA: Dosen ATVI Suradi Berikan Pelatihan Jurnalistik di SMA Plus PGRI Cibinong

Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan. Sedang data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya.

Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45 persen), pelarangan pemberitaan (44 persen) dan teror dan intimidasi (39 persen). Survei juga mencatat, satu orang jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.

Ancaman terhadap keselamatan jurnalis ini datang dari berbagai pihak. Saat ditanyakan mengenai potensi ancaman keselamatan, jurnalis menyebut mulai dari Ormas (29 persen), negara melalui polisi (26 persen) dan pejabat pemerintah (22 persen), aktor politik (14 persen) hingga perusahan media itu sendiri (tujuh persen).

"Sisanya, empat persen, menyebut aktor lainnya," ujar Oslan.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, dan pilar negara dan regulasi.

Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedang pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.

Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.

Manajer Riset Populix Nazmi Haddyat Tamara mengatakan di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36) dan pilar stakeholder media (74,36).

“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong oleh kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan untuk melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap, untuk menjamin keselamatan jurnalis, perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis.

Pengumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari - 13 Februari 2024 dengan metode self filling oleh para jurnalis dengan cara mengirimkan kuesioner kepada jurnalis yang terdata di sejumlah organisasi serta mendatangi jurnalis saat berada di lapangan serta wawancara kepada sejumlah jurnalis untuk verifikasi informasi yang krusial.

Jurnalis yang terangkum dalam survei ini sebanyak 536 orang yang tersebar di seluruh Indonesia serta mewakili jurnalis dari beragam jenis media.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler