jpnn.com, JAKARTA - Komitmen partai oposisi pemerintah dalam mengatasi masalah terorisme dinilai masih lemah. Padahal, terorisme dan radikalisme masih menjadi masalah krusial yang memerlukan komitmen tegas .
Direktur Media dan Riset Indomedia Poll Hamzah Fansuri mengatalan, peristiwa bom bunuh diri di Medan menjadi bukti bahwa meski UU Terorisme sudah disahkan, ancamannya masih nyata.
“Ironisnya, PAN sempat memandang Indonesia belum masuk negara dengan kategori darurat terorisme yang kontraproduktif dengan semangat UU tersebut. Bisa dilihat dari pernyataan sejumlah politikus PAN dari pemberitaan media online,” kata Hamzah, Kamis (15/3).
Selain itu kata Hamza, program deradikalisasi yang melibatkan banyak pihak di beberapa tempat yang mencapai keberhasilan justru dipandang Gerindra sebagai program yang tidak relevan untuk Indonesia.
“Gerindra justru menganggap cara efektif untuk melawan terorisme adalah dengan perang menggunakan senjata,” katanya.
Hal ini senada dengan pandangan Demokrat yang mengatakan peran intelijen, polisi dan TNI diperlukan dalam menanggulangi terorisme di Indonesia, sedangkan radikalisme melibatkan tokoh dan pemuka agama.
“Publik patut kecewa dengan komitmen dan konsistensi partai yang mayoritas berasaskan Pancasila tersebut. Nilai-nilai keberagaman dan toleransi yang terkandung dalam Pancasila semestinya mendasari setiap sikap dan kebijakan partai saat berhadapan dengan terorisme dan radikalisme,” ujarnya.
Menurut Hamzah, lain halnya dengan PDIP yang mengingatkan masyarakat kembali membumikan Pancasila guna mencegah aksi radikalisme. “PDIP juga mengingatkan bahwa jangan sampai agama dijadikan alat untuk menyebarkan fitnah,” katanya.
Namun, respons sebagian publik masih mempertanyakan konsistensi PDIP akibat lahirnya sejumlah aturan terutama terkait terorisme, radikalisme dan intoleransi, ujaran kebencian, menolak perbedaan dan sebagainya.
“PDIP termasuk partai penguasa yang berkontribusi terhadap lahirnya beberapa aturan yang berpotensi diskriminatif dan kurang peka terhadap masalah-masalah sosial yang dapat mendorong masyarakat bertindak radikal,” ujar Hamzah.
Terkait partai baru yang kiprahnya belum terlihat di parlemen, Hamzah melihat Partai Garuda, Berkarya dan Perindra justru hanya sebatas mengutuk terorisme sehingga tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam wacana publik.
“Berbeda dengan PSI yang berani menyuarakan perlawan terhadap potensi-potensi terorisme seperti intolerasi, ujaran kebencian dan radikalisme. PSI melalui kadernya mengedepankan perlawanan dengan menyuarakan saling menghargai dan mengenal perbedaan, serta tidak termakan propaganda terorisme,” ujarnya. (dil/jpnn)
BACA JUGA: Mayoritas Partai Politik Tidak Serius Memperjuangkan Pengentasan Kemiskinan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertanyaan Eriko PDIP untuk Adik-Adik PSI: Sudah Pasang Foto Jokowi?
Redaktur & Reporter : Adil