Indonesia Adalah Jembatan Perdamaian di Antara Amerika dan China

Sabtu, 18 Desember 2021 – 01:50 WIB
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Scottish Event Campus (SEC), Glasgow, Skotlandia, pada Senin (01/11/2021) waktu setempat. Foto: ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev/pri

jpnn.com, JAKARTA - Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan Indo-Pasifik telah mengalami transformasi yang luar biasa.

Ratusan juta orang keluar dari kemiskinan dan wilayah ini telah menjadi rumah bagi perusahaan kelas dunia serta motor penting untuk pertumbuhan ekonomi global.

BACA JUGA: Diplomat Amerika Sebut Perseteruan dengan China Bakal Makin Sengit

Kawasan ini menyumbang 60 persen dari ekonomi dunia dan dua pertiga dari semua pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir.

Pertumbuhan pesat di kawasan Indo-Pasifik terlaksana karena tatanan regional yang bebas dan terbuka.

BACA JUGA: Amerika Usik Presiden Nikaragua, Taiwan Berduka, China Makin Jemawa

Tatanan regional yang bebas dan terbuka memastikan stabilitas serta medan kompetisi yang setara sehingga negara dapat tumbuh dan berkembang sebagai negara yang berdaulat dan merdeka.

Kesadaran terhadap pentingnya Indo-Pasifik sebagai nadi utama lalu-lintas perdagangan dunia membentuk arena baru rivalitas antar negara.

BACA JUGA: Dinamika Politik Amerika-China Menjadi Dasar Strategi Ekonomi Jawa Timur

Rivalitas atau kompetisi yang tercermin jelas di Indo-Pasifik terlihat dari aktivitas hubungan internasional antara Amerika Serikat dan China.

Amerika Serikat menggeser perhatiannya dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik saat China muncul sebagai kekuatan ekonomi besar di abad ke-21.

Sejak saat ini rivalitas antara Amerika Serikat dan China terus berkembang secara berlawanan dalam berbagai macam kebijakan.

Pada September, tiga negara yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menyepakati sebuah pakta pertahanan yang dinamakan AUKUS (Australia, Inggris, dan AS).

Pembentukan AUKUS menurut pernyataan bersama ketiga negara bertujuan untuk menghadapi tantangan abad-21.

Namun sejumlah pakar hubungan internasional meyakini bahwa pembentukan AUKUS untuk memulihkan hegemoni Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik serta mengurangi pengaruh China di kawasan yang membentang dari pantai Timur Afrika hingga Kepulauan Pasifik.

Salah satu poin kesepakatan AUKUS yang menjadi perdebatan adalah dukungan terhadap Australia untuk mendapatkan teknologi kapal selam bertenaga nuklir.

Di bawah pakta trilateral AUKUS, Australia akan membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir.

Australia menjadi negara kedua setelah Inggris yang diberi akses ke teknologi nuklir AS untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir.

Pembangunan kapal selam bertenaga nuklir mendapat kecaman keras dari pemerintah China.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhou Lijian mengatakan bahwa AUKUS merusak perdamaian, stabilitas serta memicu perlombaan senjata di kawasan.

China meyakini bahwa setiap mekanisme regional harus merujuk pada perdamaian dan perkembangan zaman serta tidak mengincar atau merusak kepentingan pihak ketiga .

Sementara itu Menteri Luar Negeri Antony J.Blinken menegaskan bahwa pembentukan AUKUS melengkapi kemitraan atau aliansi yang dimiliki Amerika Serikat di Indo-Pasifik maupun di luar kawasan.

Ia mengatakan kesepakatan AUKUS bukan hanya fokus pada pengembangan kapal selam bertenaga nuklir melainkan juga melibatkan lebih banyak hal termasuk kolaborasi dan kerja sama di bidang sains dan teknologi, rantai pasokan, siber, serta kecerdasan buatan.

Apa yang dilakukan Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik maupun di luar Indo-Pasifik adalah membangun kemitraan dan koalisi. Semua negara dapat berpartisipasi dalam pengaturan yang berbeda, dan kemudian menyatukannya dengan cara yang berbeda.

AUKUS, lanjut dia, terbuka untuk dapat bekerja sama dengan kelompok negara, organisasi serta lembaga lain untuk menghadapi berbagai tantangan maupun mencari solusi terhadap isu-isu yang berdampak pada kehidupan rakyat.

Namun semua ini memiliki prinsip dasar dan pendekatan dasar tertentu terhadap masalah yang harus kita hadapi, ujar Blinken.

Blinken mengemukakan visi AS untuk menciptakan dan memajukan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Hal tersebut diungkapkannya dalam pidatonya di Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.

AS akan memajukan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka di mana masalah akan ditangani secara terbuka. Aturan akan dicapai secara transparan dan diterapkan secara adil. Barang, ide, dan orang akan mengalir dengan bebas – melintasi daratan, dunia maya, dan laut lepas, kata Blinken.

AS siap bekerja sama dengan sekutu dan mitra untuk memastikan kawasan ini tetap terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. AS bertekad untuk memastikan kebebasan  di Laut Cina Selatan dan perdamaian serta stabilitas di Selat Taiwan, kata Blinken.

Amerika Serikat akan menjalin hubungan yang lebih kuat di dalam dan di luar kawasan. AS akan memperdalam aliansi perjanjian dengan Australia, Jepang, Republik Korea, Filipina, dan Thailand.

Blinken mengatakan pertemuan Presiden Biden dengan pemimpin-pemimpin negara di kawasan Indo-Pasifik menunjukkan pentingnya Indo-Pasifik bagi Amerika Serikat dan secara global.

Dua pemimpin asing pertama yang dijamu Presiden Biden di Amerika Serikat berasal dari Jepang dan Republik Korea, dan dia bertemu bulan lalu dengan Presiden Joko Widodo dari Indonesia.

Presiden Biden, lanjut dia, telah berpartisipasi dalam beberapa pertemuan puncak yang diadakan oleh badan-badan regional utama antara lain KTT AS-ASEAN, KTT Asia Timur, maupun Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC.

Blinken mengatakan sentralitas ASEAN adalah dasar dari arsitektur regional. AS akan terus memperluas kemitraan strategisnya dengan ASEAN.

Karena ASEAN yang kuat dan mandiri sangat penting untuk mengatasi krisis yang mendesak dan tantangan jangka panjang. Selain itu, Presiden Biden akan mengundang para pemimpin ASEAN ke pertemuan puncak di Washington dalam beberapa bulan mendatang.

Blinken mengatakan Amerika Serikat akan mendorong kemakmuran yang berbasis luas. Amerika Serikat telah menyediakan lebih dari satu triliun dolar dalam investasi asing langsung di Indo-Pasifik, dan AS akan memenuhi panggilan dari kawasan untuk berbuat lebih banyak.

“Atas arahan Presiden Biden, kami sedang mengembangkan Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik yang komprehensif yang akan mengejar tujuan bersama kami, termasuk seputar fasilitas perdagangan, ekonomi dan teknologi digital, rantai pasokan yang tangguh, dekarbonisasi dan energi bersih, infrastruktur, standar pekerja, dan prioritas lainnya.

Sementara itu Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan ASEAN telah memiliki ASEAN Outlook on the Indo-Pacific.

ASEAN Outlook on Indo-Pacific merupakan penegasan posisi ASEAN dalam peranannya untuk menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik. yang mencakup Asia Pasifik dan Samudera Hindia.

Outlook ini mengedepankan pendekatan dialog dan kerja sama yang terbuka dan inklusif di bidang yang menjadi prioritas ASEAN, yaitu maritim, ekonomi, konektivitas, dan pencapaian SDGs.

Retno mengtakan saatnya bagi ASEAN untuk mengimplementasikan empat kerja sama tersebut dengan mitra eksternalnya secara inklusif.

Kerja sama konkret yang saling menguntungkan akan memberikan kontribusi pada pencapaian stabilitas dan perdamaian di Indo-Pacifik, kata dia.

Indonesia berharap AS dapat menjadi mitra kerja sama konkret dalam implementasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific.

Ide pelibatan Australia melalui kepemilikannya atas 8 kapal selam bertenaga Nuklir ini sangat mengagetkan Indonesia dan dunia. Karena berpotensi menimbulkan pacu senjata baru secara luar biasa.

Kebijakan Australia ini juga secara strategis menggentarkan China, karena kapal selam ini berpotensi menyerang dari berbagai sudut dunia yang tidak terbayangkan, berikut potensi daya ledak dan daya hancur yang ditimbulkannya.

Patut diduga, China akan berbuat serupa, sehingga menjadikan kawasan Indo Pasifik sebagai wilayah perang masa depan.

Wajarlah jika AS dan China melakukan pendekatan pada Indonesia, guna memberikan dukungannya, sekecil apa pun, ujar Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah.

Ia mengatakan pemerintah Indonesia dapat menerapkan beberapa strategi dalam menghadapi kompetisi antara AS dan China. Pertama, mempercepat pengadaan alutsista dari luar AS dan China, seperti dari Rusia, Jerman, dan Perancis, guna melampaui tingkatan Minimum Essential Forces (MEF), sehingga memungkinkan TNI menjalankan seluruh tugas pokoknya secara berdaya guna dan berhasil guna.

Kedua, lanjut Rezasyah, mempercepat penguasaan atas Flight Information Region (FIR) yang selama ini dikendalikan oleh Singapura, sehingga sangat menghambat pergerakan dirgantara RI secara sipil dan militer.

Ia mengatakan percepatan penguasaan FIR ini dapat diawali dengan sebuah tender internasional, di mana RI sendiri yang menentukan dalam aspek-aspek seperti peralatan teknis yang digunakan, Iptek yang harus dikuasai, dan SDM yang siap dilatih secara berkelanjutan.

Mengenai Indo Pasifik yang bebas dan terbuka, Rezasyah mengatakan RI mengoordinir negara-negara dalam PBB untuk mensosialisasikan perlunya menaati seluruh aturan Hukum Internasional dalam semua kegiatan mereka, termasuk memasukkannya dalam semua dokumen diplomatik yang akan mereka buat.

Terhitung 1 Januari 2022, RI secara khusus memasukkan kata kunci UNCLOS, ZOPFAN, dan SEANWFZ dalam semua dokumen diplomatik yang dibuatnya.

Selain itu, ia mengatakan RI menggerakkan ASEAN untuk secara bersama-sama berjuang menjadikan kawasan Indo Pasifik sebagaimana ASEAN, menjadi kawasan berbasis damai, bebas, netral, dan bebas senjata Nuklir.

Adanya rivalitas antara AS dan China, Indonesia harus berdiri di tengah sebagai Bridge Builder, yakni jembatan perdamaian, agar konflik terbuka tidak terjadi.

Selama ini, RI terbukti mampu berdiri di tengah, sebagai Bridge Builder. Sejak lama RI telah berhasil menggerakkan berbagai institusi kawasan seperti ASEAN, dan serta institusi global seperti OKI, GNB, dan PBB.

Sekaranglah saatnya RI meningkatkan rasa percaya dirinya, untuk tidak melibatkan diri dalam persaingan AS-China, namun meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dirinya, menjadi sebuah negara yang semakin kuat secara militer, dan berwibawa secara diplomatik, sehingga mampu menjadi penengah yang adil dan bertanggungjawab. (ant/jpnn)

 

Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler