jpnn.com, JAKARTA - Fungsional Analis Kebijakan Muda Kementerian Perindustrian Fitria Rahmawati memperkirakan Indonesia menjadi pasar kosmetik terbesar kelima di dunia, sekitar 10-15 tahun mendatang.
Pasalnya, penduduk Indonesia dinilai makin sadar akan penampilan, sehingga make up dan perawatan diri kini menjadi gaya hidup.
BACA JUGA: Kemenperin: Produksi Sabun Picu Pertumbuhan Industri Kosmetik
Kondisi inilah yang menjadikan Indonesia kini diperebutkan oleh industri kosmetik global.
"Trennya itu, meski mengalami perlambatan ekonomi, belanja kosmetik dan personal care di Indonesia terus meningkat," ujar Fitria pada webinar 'Strategi Memperkuat Penetrasi Produk Kosmetik Lokal di Pasar Domestik: Pentingnya Pengendalian Impor Kosmetik', di Jakarta, Kamis (3/6).
BACA JUGA: Kemenperin: Industri Kosmetik Tumbuh Signifikan, Capai 3,39 Persen
Webinar diselenggarakan oleh LPPM Universitas Nasional, Jakarta, bekerja sama ITBI Ahmad Dahlan Jakarta dan Public Trust Indonesia.
Fitria kemudian menjabarkan data nilai impor dan ekspor industri kosmetik. Nilai impor meningkat dari USD 583,3 juta (2016) menjadi USD 850,16 juta (2018) dan sedikit turun menjadi USD 803,58 juta (2019).
BACA JUGA: Kiat Industri Kosmetik Garap Pasar Milenial
Nilai ekspor produk kosmetik lokal, juga naik dari USD 470,3 juta (2016), menjadi USD 556,31 juta (2018) dan turun sedikit menjadi USD 506,56 juta (2019).
Dari data yang dipaparkan, nilai impor lebih tinggi dari ekspor, padahal ada sekitar 749 perusahaan kosmetik di Tanah Air yang menyerap 75 ribu tenaga kerja secara langsung dan 600 ribu tidak langsung.
Dari perusahaan-perusahaan tersebut, 95 persen di antaranya merupakan industri kecil dan menengah.
Untuk itu, Fitria mengatakan, pemerintah mendorong program substitusi impor 35 persen di industri kosmetik pada 2022 mendatang.
Langkah tersebut dinilai sangat penting, agar Indonesia tidak sekadar menjadi sasaran industri global.
“Pemerintah melakukan langkah strategis berupa program substitusi impor sebesar 35 persen, peningkatan utilisasi produksi dan mendorong investasi baru di sektor industri kosmetik,” kata Fitri.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Pengawasan Badan POM Arustiyono menyatakan, pihaknya menemukan kosmetik ilegal senilai Rp 128 miliar pada 2018 lalu.
Temuan meningkat menjadi Rp 185,8 miliar di 2019, berkat adanya intensifikasi pengawasan dan penindakan, termasuk secara online.
Sementara saat pandemi Covid 19 di 2020, jumlah temuan menurut menjadi Rp 69 miliar. “Jadi, pas nilai impor turun, temuan bahan kosmetik ilegal juga turun,” ucapnya.
Ketua Umum Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi (PPA) Kosmetika Indonesia Solihin Sofian menjelaskan, meski digempur oleh produk impor, industri kosmetik lokal tetap tumbuh.
“Pertumbuhan industri kosmetika pada 2017 tumbuh 6,35 persen, yang mana semula 153 perusahaan meningkat menjadi 760 perusahaan dan ekspor mencapai USD 519,99 juta," ucapnya.
Menurut Solihin, angka tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya USD 470,3 juta. Industri kosmetik tumbuh sekitar 7,36 persen di 2018 dan tumbuh sekitar 9 persen di 2019 dan tumbuh menjadi 9,39 persen di 2020.
Solihin berharap, dengan pasar yang sangat besar, Indonesia perlu melakukan pengetatan impor kosmetik.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang