Demikian yang diutarakan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Indroyono Soesilo, saat memberikan kuliah umum di George Washington University, Washington DC, AS belum lama ini. Dia merupakan pejabat publik Indonesia yang menerima penghargaan Fulbright Distinguished Scholar Award 2012 dari Pemerintah AS.
Topik kuliah umum yang disampaikan di hadapan para profesor, mahasiswa pascasarjana dan pemerhati Indonesia di AS itu adalah dampak dan peran negara kepulauan Indonesia terhadap perubahan iklim. "Gas CO2 ini kemudian diserap oleh hutan dan lautan. Melalui proses fotosintesis, gas CO2 tadi kemudian dikonversikan menjadi oksigen (O2) untuk dihirup oleh makhluk hidup dimuka Bumi," lanjutnya dalam rilis yang diterima INDOPOS (Grup JPNN), Minggu (21/10).
Indonesia, yang memiliki kawasan hutan dan lautan yang luas, berperan sentral dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global. Wilayah nusantara harus menanggung akibat meningkatnya temperatur muka laut, naiknya tinggi muka laut yang berakibat tenggelamnya beberapa pulau serta harus menghadapi kondisi variabilitas iklim seperti datangnya El Nino, atau kemarau panjang, serta La Nina, atau musim hujan yang berkepanjangan. Tidak ada jalan lain, selain negara-negara di dunia harus bekerja sama melalui adaptasi perubahan iklim, mitigasi perubahan iklim, peningkatan kegiatan pemantauan iklim dan pertukaran ilmu pengetahuan antara negara.
Indroyono menegaskan, walaupun Indonesia harus menghadapi dampak perubahan iklim global ini di negara sendiri, namun Indonesia juga tetap ingin berkontribusi demi kelestarian Planet Bumi. Sebut saja dengan menyodorkan Program REDD+ untuk pelestarian hutan tropis, merintis Coral Triangle Initiative (CTI) dalam rangka penyelamatan 75.000 kilometer-persegi terumbu karang di 6 Negara CTI. Termasuk secara sukarela akan menurunkan emisi CO2 sebesar 26 persen dengan kekuatan sendiri. Membidik sampai 41 persen hingga 2020 tentunya melalui dukungan Internasional.
Di setiap kesempatan, Indroyono selalu mengajak kerja sama dengan para pakar dan ilmuwan di AS di antaranya untuk pemantauan laut. Program pemasangan pelampung pengamat iklim di lautan Indonesia, yang dilaksanakan Indonesia bersama AS, Jerman, Tiongkok, Belanda dan Malaysia bisa membuahkan kemampuan memperdiksi kedatangan El Nino dan La Nina kurun 12 – 24 bulan kedepan.
"Ini sangat bermanfaat untuk antisipasi bencana, mengingat bila terjadi El Nino, maka kerugian ekonomi Asia-Pasifik bisa mencapai lebih dari USD 1 miliar," ungkapnya. Sambil menirukan kata-kata mendiang Ronald Reagan, mantan Presiden AS, ia mengatakan, we have to act now, if not us who? If not now, when? Kuliah umum akan dilanjutkan sampai akhir Oktober 2012 ke University of Iowa, University of Washington di Seattle, Oregon State University di Corvalis dan University of California, Berkeley. (nel)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KY Minta MA Awasi Sidang Sintong Gultom
Redaktur : Tim Redaksi