jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah Indonesia diingatkan untuk tidak mengambil tindakan berlebihan menyikapi serangan bom di Sana'a, yang menyebabkan gedung KBRI terkena imbasnya.
Hal ini disampaikan Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana kepada JPNN.com, Senin (20/4). "Kecaman dari Menlu Retno (Marsudi) memadai tapi tidak perlu mengambil tindakan berlebihan atas pengeboman yang dilakukan oleh pesawat tempur Saudi Arabia itu," ujar Hikmahanto.
BACA JUGA: Bappenas Pangkas Satu Deputi
Hikmahanto mengingatkan, aksi pengeboman itu tidak dilakukan dengan target KBRI. Ditambah lagi, operasional KBRI telah dipindahkan ke Salalah tempat yang lebih aman.
"Adapun yang menjadi target adalah depot amunisi yang letaknya tidak terlalu jauh dari Gedung KBRI," imbuhnya.
BACA JUGA: Besok, Rancangan Perpres Organisasi Kemenhan Diserahkan ke Jokowi
Ia menjelaskan dengan adanya serangan secara bertubi-tubi dan sistematis di Sana'a maka ibi kota Yaman itu telah dijadikan zona perang (war zone). Karenanya, warga yang ada di daerah itu bukanlah target dalam perang. Meski demikian, sambungnya, dalam hukum humaniter penyerang seharusnya meminimalkan penduduk sipil dan situ-situss bersejarah serta gedung pemerintahan.
"Bila ada penduduk sipil yang menjadi korban maka mereka akan dianggap sebagai korban yang bukan menjadi target (collateral damage)," tambah Hikmahanto.
BACA JUGA: Ssttt...Wapres Filipina Ingin Jumpa Jokowi Nego Nyawa Mary Jane
Hikmahanto menambahkan, presisi untuk menembak ke sasaran yang tepat meski menggunakan alutsista yang canggih sulit untuk dilakukan bila serangan berasal dari udara.
Idealnya, kata dia, perang di dalam kota dilakukan melalui darat meski konsekuensinya banyak korban yang berperang akan jatuh.
"Pengeboman yang dilakukan secara tidak sengaja KBRI di Sanaa menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memiliki lokasi KBRI di manapun di dunia agar tidak dekat dengan instalasi militer," tandasnya. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demi KAA, Citilink Alihkan Penerbangan
Redaktur : Tim Redaksi