jpnn.com, JAKARTA - Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 harus meningkatkan soliditas negara-negara dalam forum tersebut supaya berkomitmen menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi dan politik.
"Presidensi Indonesia sangat terdampak dengan konflik Rusia-Ukraina. Namun, isu-isu dalam G20 masih relevan untuk dibahas dan dicari solusinya secara bersama," kata Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth saat dihubungi wartawan, Kamis (26/5).
BACA JUGA: Menlu Retno Ditelepon Orang Penting dari China, Ada Pesan soal G20
Menurutnya, 20 negara dalam grup tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika seluruhnya bekerja sama, maka akan sangat berpengaruh terhadap dunia.
BACA JUGA: Luhut Tegaskan Putin dan Xi Jinping Akan Hadiri KTT G20 Bali
"Setiap negara memiliki kemampuan berbeda yang perlu kerja sama untuk saling melengkapi," jelasnya.
Dia melanjutkan meskipun G20 tidak memiliki ikatan secara hukum atau non-legally binding, tetapi dapat bekerja bersama-sama dengan didasarkan pada komitmen atau konsensus bersama. Untuk itu, Indonesia mesti mendorong lahirnya sebuah konsensus untuk G20 memulihkan dampak pandemi Covid-19 dan menyudahi konflik Rusia-Ukraina.
BACA JUGA: G20 Empower: Empat Menteri Dukung Perempuan Mengembangkan UMKM di Indonesia
"G20 di bawah Presidensi Indonesia perlu merancang tata kelola ekonomi global yang adil dan merata, sehingga no one left behind dalam hal keuntungan ekonomi sesuai dengan potensi dan kemampuan ekonomi setiap negara," pungkasnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah Indonesia menjaga soliditas di antara negara-negara G20 sudah tepat. Terlebih lagi banyak pihak berharap G20 dapat memberikan solusi bagi persoalan yang tengah di hadapi dunia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa negara-negara G20 harus solid untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia.
“Selama krisis keuangan global 2008, G20-lah yang mencegah ekonomi dunia jatuh lebih dalam ke jurang depresi," kata Menko Airlangga saat menyampaikan sambutan di Paviliun Indonesia pada perhelatan World Economic Forum Annual Meeting (WEFAM) 2022 di Davos, Swiss.
Negara-negara yang membentuk G20, lanjutnya, terdiri dari dua pertiga dari populasi dunia, 85 persen dari PDB dunia, 75 persen dari perdagangan dunia, dan 80 persen dari investasi global. “Keputusan yang dicapai di G20 akan memperbaiki banyak hal di dunia ini,” ujarnya.
Airlangga juga merefleksikan pengalaman dunia dalam menghadapi pandemi Covid-19 pada dua tahun terakhir. Pada tahun terakhir, semua negara berada dalam keadaan sulit akibat pandemi Covid-19.
“Kabar baiknya, Indonesia menunjukkan ketahanannya dan mulai menunjukkan proses recovery, yang mana perekonomian Indonesia pada Triwulan I tahun ini mencatat pertumbuhan sebesar 5,1 persen yoy,” tuturnya.
Lebih lanjut, Menko Airlangga juga berbicara mengenai isu global terutama permasalahan geopolitik yang memberikan tantangan tersendiri bagi Presidensi G20 Indonesia.
Dia juga menekankan agar dunia tidak menutup mata pada permasalahan-permasalahan global lainnya yang terjadi secara simultan dengan konflik Rusia-Ukraina, seperti agenda perubahan iklim dan vaksinasi yang belum merata di seluruh dunia.
“Perang di Ukraina mempertanyakan eksistensi G20. Ada juga perdebatan sengit tentang siapa yang harus atau tidak boleh diundang. Sebagai Presidensi G20, kepentingan Indonesia adalah menjaga keutuhan G20. Dan G20 harus dipertahankan sebagai G20, bukan menjadi G19, atau G13,” papar Airlangga.
WEFAM akhirnya kembali digelar setelah sempat vakum pada tahun 2021 akibat pandemi Covid-19.
Dalam forum ekonomi internasional tersebut, Indonesia mendapatkan kehormatan untuk kembali terlibat melalui Indonesia Pavilion dan Indonesia Night.
Indonesia Pavilion adalah sebuah wadah untuk berdiskusi, mengadakan seminar, dan menjalin koneksi dengan entitas dari negara lain.
Indonesian Night bertujuan untuk mempromosikan budaya dan kuliner Indonesia ke dunia.
Sebelumnya, Indonesia juga pernah membuka Indonesia Pavilion di WEFAM 2018, 2019, dan 2020. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi