Indonesia Raya Tiga Stanza Maknanya Begitu Dalam, Bergelora!

Senin, 14 Agustus 2017 – 09:06 WIB
Puluhan anggota Banser tengah membawa bendera Merah Putih ukuran 20 x 30 meter yang akan dikibarkan di Lembah Sumilir di Desa Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar, Sabtu pagi (12/8). Foto: Damianus Bram/Radar Solo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, setiap upacara bendera, lagu Indonesia Raya tiga stanza wajib dikumandangkan.

Lagu Indonesia Raya versi komplit itu dinilai memiliki makna yang kaya dan indah. Tiap stanza yang diciptikan sang maestro Wage Rudolf Supratman memiliki makna yang bergelora.

BACA JUGA: Senin Wajib Nyanyikan Indonesia Raya Tiga Stanza

Saking bergeloranya, lagu yang pertama kali dinyanyikan tahun 1928 itu, sempat ditentang oleh Belanda.

“Karena maknanya terlalu bergelora dan mengajak seluruh bangsa bersatu. Dulu Jonk heer saat itu Gubernur Jenderal Belanda, dia mengatakan saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan 1928 untuk apa ada lagu kebangsaan bagi seluruh bangsa. Toh Indonesia belum ada, atau tak ada,” jelas Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Muhammad Wasith Albar saat berbincang dengan JawaPos.com.

BACA JUGA: Mulai Juli, Sekolah Wajib Menyanyikan Lagu Ini

Wasith mengajak untuk memaknai setiap lirik di masing-masing stanza. Tentunya hal itu memiliki pesan moral sangat bermakna bagi persatuan bangsa Indonesia.

“Seluruh liriknya di tiga stanza tetap relevan dengan kondisi bangsa hingga saat ini,” jelasnya.

Lagu Indonesia Raya sesuai PP 44/1958,

Stanza 1

Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku,

Disanalah aku berdiri, Djadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku,

Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.

Hiduplah tanahku, Hiduplah neg'riku,

Bangsaku, Rajatku, sem'wanja,

Bangunlah djiwanja, Bangunlah badannja, Untuk Indonesia Raja.

“Pada kalimat ‘Marilah kita berseru, Indonesia bersatu’ dan ‘Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya’, itu sangat magnetik dan bergelora untuk semangat persatuan. Apalagi di tengah rasa nasionalisme yang mulai luntur saat ini,” kata Wasith.

Stanza 2

Indonesia, tanah jang mulia, Tanah kita jang kaja,

Disanalah aku berdiri, Untuk s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah pusaka, Pusaka kita semuanja,

Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.

Suburlah tanahnja, Suburlah djiwanja,

Bangsanja, Rajatnja, sem'wanja,

Sadarlah hatinja, Sadarlah budinja, Untuk Indonesia Raja.

“Stanza dua ini lebih menonjolkan pendidikan karakter, revolusi mental, etika, dan moralitas. Apalagi pada kalimat ‘Sadarlah hatinya, sadarlah budinya’,” ungkap Wasith.

Stanza 3

Indonesia, tanah jang sutji, Tanah kita jang sakti,

Disanalah aku berdiri, Ndjaga ibu sejati.

Indonesia, tanah berseri, Tanah jang aku sajangi,

Marilah kita berdjandji, Indonesia abadi.

S'lamatlah rakjatnja, S'lamatlah putranja,

Pulaunja, lautnja, sem'wanja,

Madjulah Neg'rinja, Madjulah pandunja, Untuk Indonesia Raja.

“Stanza tiga memiliki makna relevansinya sangat kuat dengan kondisi saat ini. Pesannya agar kekal abadi dan bangsa ini tak terpecah-pecah. Kalimat ‘Majulah negerinya, majulah pandunya’ itu ada semangat kepemimpinan atau leadership,” tegas Wasith.

“Karena itu saya kira meski lagu tiga stanza dinyanyikan bisa terlalu panjang butuh lima menit, tetapi akan lebih baik jika dinyanyikan seluruhnya, tiga stanza. Tak hanya siswa tetapi juga para orang tua dan seluruh elemen masyarakat,” tutupnya. (ika/JPC/JPNN)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler