Indra Charismiadji: Program Digitalisasi Sekolah Kok Malah jadi Proyek Pengadaan Laptop

Sabtu, 14 November 2020 – 16:19 WIB
Pengamat dan Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji saat menjadi narasumber Poadcast JPNN.com, Jakarta, Selasa (10/11). Foto: Dika Rahardjo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan Praktisi Pendidikan abad 21 Indra Charismiadji mengkritisi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang tahun depan akan melaksanakan program digitalisasi sekolah.

Menurut dia, ada yang salah penafsiran dalam program tersebut. Sebab, Kemendikbud justru memprioritaskan pengadaan laptop untuk dibagi-bagikan ke daerah 3T.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Jusuf Kalla di Balik Kepulangan Rizieq? 8 Oknum TNI jadi Tersangka, Siapa di Balik Nikita Mirzani

"Program digitalisasi sekolah sih bagus ya. Memang sudah saatnya ke arah sana cuma kok sempit sekali cara berpikir pemerintah. Masa yang dipikirkan bagi-bagi laptop dengan anggaran Rp 3 triliun, amazing," kata Indra yang dihubungi JPNN.com, Sabtu (14/11).

Jika hanya program bagi-bagi laptop, lanjutnya, itu tidak bisa disebut sebagai digitalisasi sekolah. Apalagi yang dibeli ini dilengkapi dengan Google Chromebook. Kebetulan juga, tuturnya, Google invest besar di GoJek. 

BACA JUGA: Nadiem Makarim Akhirnya Merasakan Sendiri Leletnya Internet di Luar Jawa

Jadi kata Indra, jangan salah bila banyak yang apriori dengan kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim ini. Karena latar belakangnya pengusaha, semua kebijakan juga dikaitkan dengan proyek.

"Lah kan emang iya. Mulai Program Organisasi Penggerak, bagi-bagi kuota, digitalisasi sekolah, dan akan menyusul lagi program-program lainnya," cetusnya.

BACA JUGA: Perhimpunan Guru Desak Nadiem Makarim Hentikan Praktik Bisnis Asesmen Nasional

Menurutnya, digitalisasi sekolah harusnya meliputi infrastruktur, infostruktur, dan infokultur. Infrastruktur ini mulai dari gawainya apa, internet aksesnya bagaimana, listriknya bagaimana. 

"Jadi jangan sampai sekolah dikasih komputer tetapi listriknya tidak ada. Mau dicolokin di mana dan ini yang saya temukan di lapangan," ujarnya.

Infostruktur dimaksudkan bagaimana informasi itu bisa terstruktur. Sedangkan infokultur, kultur mengajar dengan pola digital dan mengajar tatap muka atau konvensional itu berbeda. Gurunya juga harus disiapkan memahami pedagogi digital. 

Kulturnya, siswanya pun juga begitu. Mengenal yang namanya synchronous (komunikasi online langsung) dan asynchronous (komunikasi online tidak langsung) learning. Bukan hanya synchronous.

"Kalau kita bicara digitalisasi pendidikan harusnya konsepnya seperti itu. Nah kalau sekarang hanya bicara pemberian laptop, itu bukan digitalisasi pendidikan," kritiknya.

Jika hanya bagi-bagi laptop, lanjutnya, sejak era Mendikbud Muhammad Nuh, itu sudah dilakukan. Bahkan dari zaman Mendikbud Bambang Sudibyo. Karena menurutnya, program Nadiem hanya berganti nama dan tidak ada inovasi baru terkait penyebutan digitalisasi sekolah.

Dia menyarankan Mendikbud Nadiem Makarim membuat program yang benar dan bertanya pada pihak yang paham digitalisasi sekolah.

"Solusi terbaik untuk digitalisasi sekolah adalah membuat ICT Masterplan in Education seperti Singapura dulu. Kalau hanya bagi-bagi laptop kelihatan banget untuk kepentingan proyek," tandasnya. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler