Industri Farmasi Minta Jatah Bayar Obat BPJS 25 Persen

Jumat, 18 Januari 2019 – 21:15 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: Idham Ama/Fajar/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mendorong pemerintah memperbaiki nilai Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang masih rendah. Selain itu perlu adanya aturan, agar setiap pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan harus dialokasikan untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen.

“Sebaiknya harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah, dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen. Saya juga berharap agar co-payment diperbolehkan dan tidak ditegur,” ujar Ketua Bidang Industri GP Farmasi Roy Lembong di Jakarta, Jumat (18/1).

BACA JUGA: Evaluasi Pengelolaan Investasi Dana BPJS Ketenagakerjaan

Menurutnya, hal ini sangat penting guna mempertahankan keberlangsungan JKN (jaminan kesehatan nasional). Karena apapun penyakitnya, harus diobati dan pasien disediakan obat. Saat ini GP Farmasi telah men-supply 90 persen kebutuhan obat dalam negeri. Di mana 52 persen di antaranya adalah obat generik berkualitas.

"Kualitas obat yang diproduksi GP Farmasi memiliki standar dan kualitas tinggi, karena GP Farmasi melakukan beberapa mekanisme produksi cukup ketat,” tuturnya.

Hery Sutanto, Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi juga menambahkan selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan, tetapi hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat.

BACA JUGA: Fraksi PKS DPR Berencana Usulkan Pembentukan Pansus BPJS

“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus-Desember masih terus ada belanja dari Rumah Sakit, tidak mungkin kami setop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” jelasnya.

Hery menuturkan Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki tantangan yang cukup besar dalam melayani JKN yaitu turunnya profitabilitas perusahaan distribusi dari tahun ke tahun. Karena bisnis JKN ini sangat high cost dari segi bisnis.

BACA JUGA: Merugikan, Kumpulan Dokter Desak Cabut Metode INA CBGs

“Jadi kalau disuruh memilih, kami pilih bisnis secara reguler dengan swasta. Bayar lebih cepat tidak butuh waktu, begitu kami jual ke RS pemerintah cost kami berlipat-lipat," ungkap Hery.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine menyebut saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal. yaitu rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.

Dia menilai perihal RKO perlu ada perbaikan akurasi. Karena RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat. Misalnya pada 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen.

“Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia.

Engko mengungkapkan, GP Farmasi juga meminta agar pembebanan biaya kesehatan dialokasikan lebih proporsional. Baik di antara negara, swasta, dan masyarakat seperti yang dilakukan negara-negara lainnya. Menurutnya, upaya promotif preventif dalam bentuk perubahan peraturan yang ada perlu segera dilakukan untuk mengurangi beban kuratif JKN.(esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bertemu Jokowi, IDI Bicara Solusi Defisit BPJS


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
BPJS  

Terpopuler