jpnn.com - SURABAYA – Produsen granit di dalam negeri kini tertekan granit impor. Penurunan harga gas industri ke USD 6 per mmbtu diyakini mampu menekan biaya produksi sehingga meningkatkan persaingan.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko menyatakan, dampak penurunan harga gas industri bagi produsen granit lebih signifikan jika dibandingkan dengan keramik.
BACA JUGA: 31 Ribu Petani Dapat Kartu Tani
’’Pembakaran granit dua kali lebih lama daripada keramik dan temperaturnya harus 1,5 kali lebih panas,’’ terangnya kemarin (16/11).
Harga gas berkontribusi 35 persen terhadap biaya produksi granit. Saat ini produsen granit harus membayar harga gas USD 9,1 per mmbtu.
BACA JUGA: April Target Produksi 1,1 Juta Ton Kertas
Jika menurun 30 persen, harga gas industri bisa memangkas biaya produksi sekitar 10,5 persen.
’’Namun, penurunan harga gas saja belum berdampak signifikan untuk bersaing dengan produk impor sehingga pemerintah tetap harus melakukan proteksi,’’ kata Hendrata.
BACA JUGA: PT DI Dorong Ekspor ke Afrika
Saat ini total kebutuhan granit di Indonesia mencapai 100 juta meter persegi per tahun.
Sementara itu, impor granit mencapai 80 juta meter persegi per tahun. Padahal, kapasitas produksi granit lokal di Indonesia mencapai 50 juta meter persegi per tahun.
’’Akibat gempuran impor, produksi kami turun 50 persen. Multiplier effect-nya besar. Kalau produksi kami turun, industri bahan baku maupun pendukung juga ikut menurun,’’ katanya.
Salah satu penyebab merajalelanya granit impor adalah harga granit asal Tiongkok 30–40 persen lebih murah jika dibandingkan dengan granit lokal.
Harga granit impor bisa murah karena insentif ekspor dari Pemerintah Tiongkok mencapai 17 persen.
Karena itu, asosiasi meminta Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan bekerja sama membendung gencarnya produk impor yang masuk ke Indonesia.
’’Padahal, permintaan granit setelah Lebaran naik 15–20 persen karena proyek-proyek mulai berjalan. Namun, kenaikan permintaan tersebut dinikmati produk impor. Jika hal tersebut berlanjut, dikhawatirkan produsen lebih memilih menjadi importir,’’ terang Hendrata.
Selama ini pihaknya meminta jumlah pelabuhan untuk impor barang di Indonesia dikurangi. Selain itu, impor harus diperketat hanya untuk produk yang selama ini tidak ada di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi lonjakan impor barang konsumsi 13,75 persen pada periode Januari–Oktober 2016 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Nilai impor barang konsumsi di Indonesia mencapai USD 10,016 miliar. Pada Januari–Oktober tahun lalu, nilai impor barang konsumsi mencapai USD 8,805 miliar. (vir/c22/noe/frijpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kadin Prediksi BI Pangkas Suku Bunga
Redaktur : Tim Redaksi