Industri Penerbangan Non-Airline Akan Melesat Hingga 300 Persen

Rabu, 26 Juni 2024 – 18:42 WIB
Presiden Direktur Aviatory Zifa Narendra Arifin bersama Kepala Seksi Rekayasa Direktorat Jenderal Perhubungan Kemenhub Suwoto, dalam salah satu panel diskusi di Asian Sky Forum, di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (26/6). Foto: Humas Aviatory Indonesia

jpnn.com, JAKARTA - Para pelaku industri penerbangan Non-Airline meyakini masih akan bisa tumbuh secara eksponensial hingga 300 persen.

Dengan angka pertumbuhan tersebut, perekonomian nasional akan moncer sehingga cita-cita Indonesia Emas pada 2045 akan menjadi makin dekat.

BACA JUGA: iPhone 15 Pro Series Dibuat Pakai Logam Terbaik di Industri Penerbangan

“Harapan mencapai 300 persen itu sekaligus menjadi keyakinan, sebab demand (permintaan, red) sesungguhnya memang sangat tinggi. Ini saya tidak melebih-lebihkan,” kata Presiden Direktur Aviatory Indonesia Zifa Narendra Arifin pada acara Asian Sky Forum: Business Aviation 2024, di Hotel ShangriLa, Jakarta, Rabu (26/6).

Dia membeberkan industri di Indonesia itu banyak bersandar pada tiga bidang mlai dari pengolahan Sumber Daya Alam (SDA), manufacturer, hingga pariwisata.

BACA JUGA: Strategi Industri Peralatan Rumah Tangga Domestik Hadapi Produk Tiongkok

Ketiganya, menurut Ziva, sangat butuh moda transportasi udara.

”Dan, itu tidak bisa dilayani hanya oleh maskapai penerbangan terjadwal,”  ujarnya.

BACA JUGA: Gandeng Airnav, Pelita Air Tingkatkan Layanan Penerbangan di Bandara Pondok Cabe

Karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau menjadi sebabnya.

”Di sinilah private aviation, charter aviation, ataupun corporate aviation akan menjadi tulang punggung,” ujar Ziva.

Meski demikian, dia mengingatkan kalau keyakinan bisa mencapai peningkatan pertumbuhan eksponensial hingga 300 persen itu hanya akan bisa tercapai jika ada support dari pemerintah.

“Harus diakui kalau saat ini masih sangat banyak tembok regulasi, mulai persoalan fiskal hingga terkait fasilitas bandara. Kita butuh fleksibilitas,” ujar Ziva.

Dia lalu mencontohkan terkait perizinan bandara. Di Bandara Seletar Singapura yang dikenal begitu tinggi aktivitasnya bisa take-off dalam hitungan 3 jam.

Sedangkan di sini, kita untuk mendapatkan perizinan dari Kementerian Perhubungan dan TNI AU itu bisa hingga 48 jam.

”Itu hari demi hari dan setiap bandara lho,” bebernya, membandingkan.

Di tempat yang sama, Kepala Seksi Rekayasa Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Suwito juga sepakat kalau industri penerbangan di Indonesia memang memiliki potensi besar untuk terus tumbuh dan berkembang.

Hanya saja, dia juga menyadari kalau tantangan dan kendala yang dihadapi juga tidak kecil.

Berbeda dengan pelaku industri, dia justru lebih menitikberatkan pada faktor-faktor eksternal yang dihadapi. Misalnya, terkait pelemahan nilai rupiah yang kini sedang melanda.

”Dampaknya adalah pada kenaikan biaya avtur, ini tentu berat bagi industry penerbangan karena pembiayaan untuk komponen ini mencapai sekitar 40 persen dari total pembiayaan,” katanya.

Asian Sky Forum yang merupakan kali kedua setelah tahun lalu diadakan Malaysia, adalah forum yang mewadahi para pelaku industri penerbangan non-airline.

Bukan hanya Asia, sejumlah industri penerbangan di Eropa juga terlibat aktif. Misalnya, Dassault (Perancis) ataupun Bombardier (Kanada). Di Jakarta, kali ini, forum ini akan berlangsung dua hari hingga Kamis (27/6).(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler