jpnn.com, JAKARTA - Bitcoin (BTC) saat ini berada di sekitar harga US$62.000 dan sempat berada di US$59.000, setelah laporan inflasi Amerika Serikat (Consumer Price Index atau CPI) untuk bulan September menunjukkan hasil yang melebihi ekspektasi.
Data tersebut menunjukkan kenaikan inflasi sebesar 2,4% secara tahunan, sedikit lebih tinggi dari proyeksi pasar yang diperkirakan sebesar 2,3%.
BACA JUGA: Soal Dihack, Penanganan Indodax Dinilai Lebih Cepat dari Kripto Exchanges Lain
Selain itu, inflasi inti, yang mengabaikan harga energi dan makanan, juga mencatat peningkatan menjadi 3,3%, melampaui prediksi yang sebesar 3,2%.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat harga Bitcoin belum dapat melewati angka US$64.000, meskipun diharapkan adanya dorongan dari pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Dukung Program 3 Juta Rumah di Era Pemerintahan Baru, BTN Siapkan Strategi
CEO INDODAX, Oscar Darmawan mengatakan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan memberikan tekanan tambahan pada aset berisiko seperti Bitcoin.
"Langkah Federal Reserve menurunkan suku bunga memang diharapkan mampu memberikan angin segar bagi pasar kripto. Namun, kenyataannya, pasar masih merespons dengan hati-hati," ujar Oscar.
BACA JUGA: Industri Kripto Indonesia Diharapkan Bisa Lebih Terbuka & Transparan
Oscar menekankan ketidakpastian ekonomi global, ditambah dengan perkembangan geopolitik yang terus berubah, turut mempengaruhi sentimen pasar secara keseluruhan.
Saat ini, pasar kripto secara keseluruhan sedang berada dalam fase konsolidasi dengan banyak investor yang masih mengadopsi pendekatan wait-and-see.
Menurut Oscar, potensi pemangkasan suku bunga yang biasanya menjadi katalis positif bagi Bitcoin, belum mampu mengatasi tekanan negatif dari kondisi ekonomi global yang tidak stabil.
"Banyak investor yang masih menunggu kejelasan lebih lanjut dari arah kebijakan Federal Reserve, sebelum mengambil keputusan investasi yang lebih agresif," tambahnya.
Meskipun begitu, Oscar tetap optimis dalam jangka menengah hingga panjang, Bitcoin memiliki peluang untuk kembali menguat, terutama jika inflasi berhasil ditekan dan kebijakan moneter mulai melonggar.
"Di balik tekanan jangka pendek ini, saya melihat peluang yang cukup besar untuk Bitcoin dapat pulih, terutama jika kondisi ekonomi global membaik dan pelonggaran moneter terjadi lebih lanjut," jelasnya.
Faktor politik juga mulai memainkan peran yang penting dalam menentukan arah pasar kripto ke depan.
Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat 2024, spekulasi mulai muncul terkait kemungkinan terpilihnya pemimpin yang lebih ramah terhadap aset digital, yang pada gilirannya bisa menjadi katalis positif bagi harga Bitcoin dan aset kripto lainnya.
"Investor tetap optimis bahwa Bitcoin dapat mengalami pemulihan pada kuartal terakhir tahun ini, terutama jika kebijakan ekonomi global lebih mendukung sektor kripto," ucap Oscar.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada