jpnn.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memprediksi kenaikan inflasi akan memberikan ancaman resesi yang sangat nyata.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi September 2022 mengalami peningkatan signifikan sebesar 1,17 persen month-to-month (mtm) dan 5,95 persen year-on-year (yoy).
BACA JUGA: Angka Inflasi Bukan Main, BI Masih Bisa Bertindak, Begini Kata Ekonom
Adapun sejumlah komoditas utama penyumbang inflasi tersebut ialah harga BBM, beras dan angkutan dalam kota.
"Dalam kondisi ini ada kekhawatiran, inflasi berubah menjadi stagflasi," ujar Bhima kepada JPNN, Selasa (4/10).
BACA JUGA: BPS Catat Inflasi September 2022 Tertinggi Sejak Desember 2014
Menurutnya, dampak pemingkatan inflasi tersebut memberikan beberapa konsekuensi, yakni biaya bahan baku pelaku usaha meningkat, sementara sisi permintaan tidak siap.
"Para pelaku usaha tidak siap dan akan memengaruhi harga jual produk sehingga berimbas pada pengurangan rekrutmen karyawan," kata Bhima.
Selain itu, Indonesia harus bersikap waspada terhadap tingginya inflasi karena akan menyebabkan bank sentral melakukan pengetatan moneter dan berujung meningkatnya cost of financing dari pelaku usaha.
Kemudian, tak menutup kemungkinan akan bertambahnya jumlah orang miskin baru dan merosotnya pertumbuhan kelas menengah.
Untuk itu, Bhima menilai optimisme pemerintah di kuartal III 2022 di atas lima persen sepertinya belum tercapai, bahkan hanya di kisaran 4,7 persen.
"Memang ada faktor pemulihan mobilitas masyarakat untuk belanja di luar rumah. Namun, ada hambatan dari naiknya biaya transportasi hingga BBM," tegas Bhima.(mcr28/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Wenti Ayu Apsari