Infrastruktur dan Fantastika Jokowi

Kamis, 14 Februari 2019 – 17:20 WIB
Pegiat Politik DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anton Doni Dihen. Foto: Ist.

jpnn.com - Oleh: Anton Doni Dihen

Ambisi dan gerak cepat Jokowi dalam pembangunan infrastruktur makin ramai dihujam kritik. Maklum dan tidak jadi masalah, karena memang musim politik. Sebagian kritik berbobot akademis, yang lainnya lebih bernuansa politik.

BACA JUGA: Menteri BUMN era Soeharto Bela Jokowi soal Infrastruktur

Ketika menonton dan mendengar potongan-potongan youtube yang menyebarluaskan kritik dari sejumlah tokoh ternama seperti Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, maupun Faisal Basri, saya hampir terbawa untuk mengubah judul tulisan ini dan melihat berbagai capaian Jokowi di bidang infrastruktur sebagai sesuatu yang biasa. Tidak melihatnya sebagai sesuatu yang fantastis.

Kritik mereka sangat tajam dan gampang meruntuhkan kekaguman. Kritik tentang ketepatan bentuk intervensi infrastruktur dalam kaitan dengan kebutuhan transformasi ekonomi suatu wilayah; kritik tentang kelayakan ekonomis yang terlampau kurang untuk menyeimbangi kebutuhan pengembalian modal dan bunga utang; kritik tentang bagaimana cara kita melihat prioritas pembangunan infrastruktur, misalnya apakah tidak sebaiknya memprioritaskan infrastruktur konektivitas laut; dan lain-lain.

BACA JUGA: Said Didu: Jokowi Ugal-ugalan Membangun Infrastruktur

Kritik-kritik ini melengkapi kecurigaan kritis banyak orang awam lain, yang selama ini mungkin menyimpan pertanyaan mengenai apakah tidak terlalu besar perhatian ke urusan infrastruktur.

Saya sendiri, barangkali juga merepresentasikan banyak orang, merasakan jarak antara diri saya dengan proyek-proyek infrastruktur yang dibangun. Karena itu, walau berulang kali berusaha menghafalnya, saya tidak kunjung berhasil menghafal semua nama dan lokasi proyek infrastruktur besar yang dibangun di bawah judul Proyek Strategis Nasional.

BACA JUGA: Pembangunan Infrastruktur Jokowi Dikritik, Ini Pembelaan Moeldoko

Yang saya hafal hanyalah beberapa bendungan yang dibangun di NTT, yang sangat dipuja-puji oleh masyarakat NTT, walau sampai hari ini pun belum terlihat langkah kebijakan berikutnya untuk memanfaatkannya bagi kemajuan ekonomi, apalagi melihat impak besarnya bagi kesejahteraan masyarakat NTT hari ini.

Jalan Panjang

Sebagai orang yang menaruh minat pada urusan pemberdayaan ekonomi dan mendampingi beberapa kerja pemberdayaan ekonomi ketika bergabung di Kementerian Ketenagakerjaan beberapa tahun lalu, saya pun awalnya melihat secara hambar pagelaran pembangunan infrastruktur skala besar yang dipromosikan cukup gegap gempita tersebut, yang menelan biaya yang angkanya sulit dibayangkan orang miskin dan ternyata sebagian dibiayai dengan utang luar negeri.

Pertanyaan yang sering mengganggu adalah, apakah tidak sebaiknya menggunakan uang tersebut untuk proyek-proyek pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil secara langsung?
Pertanyaan terakhir ini menggantung untuk waktu yang lama, dan bersamaan dengan itu juga terus berlangsung diskusi di antara teman-teman yang meminati urusan pemberdayaan masyarakat, tentang “kapan kita bisa membuat capaian-capaian yang meyakinkan dalam urusan pemberdayaan ekonomi, sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan income yang cukup dan stabil bagi masyarakat kecil dari masa ke masa? Kapan kita bisa menciptakan alternatif-alternatif lapangan pekerjaan yang layak dari kerja-kerja pemberdayaan ini?”

Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Jika Pemerintah Pusat terlalu jauh untuk diandalkan dalam mengambil langkah-langkah fasilitasi pemberdayaan ekonomi secara langsung, mestinya Pemerintah Daerah bisa melakukan itu. Tapi harapan itu tidak mudah untuk ditemukan. Hanya beberapa kepala daerah yang mempunyai komitmen yang kuat dan menciptakan prestasi-prestasi pemberdayaan ekonomi yang kelihatan.

Semestinya, kita juga bisa berharap banyak dari pendamping desa, agar dana desa bisa dimanfaatkan secara agak optimal untuk pengembangan produk unggulan desa atau produk unggulan kawasan perdesaan, sampai ke tingkat di mana pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja bisa dihasilkan melalui kerja pemberdayaan ekonomi di jalur Dana Desa ini. Tetapi pendamping desa pada umumnya jauh dari kompetensi pemberdayaan ekonomi atau business development. Satu dua pendamping desa yang kompeten dan memiliki ide pemberdayaan yang mumpuni bahkan juga tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki otoritas yang cukup, bahkan bergantung sepenuhnya pada persetujuan Dinas kabupaten untuk anggaran pemberdayaan yang mereka usulkan bersama Pemerintah Desa.

Beberapa inovasi berbasis masyarakat, dan bukan swasta atau korporasi besar, awalnya tampak meyakinkan, tetapi begitu jalan, terdepak oleh hantaman mafia dagang. Praktik pemasaran bersama dalam menyelamatkan harga komoditi, atau industrialisasi hasil perkebunan skala desa di Nusa Tenggara Timur, misalnya, harus menyesuaikan model bisnisnya karena keterbatasan modal dan skala ekonomi, untuk akhirnya berkembang evolusioner.

Praktik-praktik tersebut, yang pasti banyak berkembang juga di daerah lain, tentu mempunyai arti penting yang tidak boleh diingkari. Namun demikian, mengandalkan ekonomi inovasi berbasis masyarakat untuk menghasilkan impak pendapatan dan lapangan kerja yang cukup, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, dalam jangka waktu yang agak pendek dan dalam skala yang agak besar, tampaknya bukan merupakan pilihan yang mencukupi.

Di titik ini, saya memilih untuk berusaha MEMAHAMI pilihan yang sedang ditekuni oleh Jokowi, untuk menghadirkan kembali jalan transformasi ekonomi melalui penciptaan kondisi bagi bertumbuhnya investasi dan industrialisasi skala korporasi, melalui pengelolaan secara lebih meyakinkan variabel-variabel iklim investasi dan daya saing, yang sebetulnya sudah terang dari satu survei ke survei lainnya.

Variabel-variabel tersebut adalah infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, regulasi terkait investasi, pelayanan perijinan, kebersihan birokrasi dari praktek korupsi, di samping masalah stabilitas politik dan komitmen institusi-institusi politik terhadap jalan transformasi perekonomian ini.

Setiap variabel daya saing dan iklim investasi tersebut di atas tentu mempunyai karakteristiknya sendiri, dan karena itu membutuhkan fokus dan ketekunan dalam upaya menuntaskannya. Variabel sumber daya manusia, misalnya, membutuhkan ketelitian tersendiri untuk mendefinisikan kebutuhan, mengidentifikasi titik persoalan, dan mengambil langkah cerdas untuk melakukan perubahan. Perubahan di aras sistem pendidikan dan pelatihan kita.

Persoalan birokrasi juga demikian, membutuhkan keuletan dalam menemukan titik-titik persoalan. Untuk menghadirkan solusi yang tepat. Di variabel infrastruktur, di sini kita harus mengatakan satu hal, yang agak pasti, yakni bahwa reformasi dan transformasi variabel-variabel daya saing yang lain tidak membutuhkan anggaran sebesar anggaran untuk membangun infrastruktur.

Di variabel infrastruktur, dibutuhkan bold measure berbentuk anggaran yang besar dan politik anggaran yang committed, dengan keyakinan bahwa anggaran besar yang digelontorkan ke sana mempunyai dasar visi yang jelas dan secara jangka panjang akan mendatangkan kemaslahatan yang besar. Sebab tidak mudah untuk membuat keputusan membelanjakan Rp 300 trilyun hingga Rp 400 trilyun per tahun jika kita tidak mempunyai visi dan keyakinan bahwa langkah tersebut mempunyai kemanfaatan yang baik bagi bangsa secara umum.

Karena itu memahami Jokowi dengan magnitude langkah pembangunan infrastrukturnya memang membutuhkan penjernihan visi ekonomi setiap kita yang melihatnya. Bahwa selain alasan keadilan antar daerah dan misi persatuan yang diemban melalui pembangunan infrastruktur sebagaimana yang beberapa kali dijelaskan Presiden Jokowi sendiri, ada juga visi ekonomi yang dituju untuk menjawab kompleksitas persoalan kemiskinan dan pengangguran secara jangka panjang. Juga bahwa di samping fungsi ekonomi yang sudah bisa kelihatan hari ini seperti pengendalian inflasi, kemudahan pergerakan barang dan jasa, peringanan biaya logistik, dan kelancaran pergerakan manusia, ada impak ekonomi berskala lebih besar yang bisa diharapkan ke depan dari perhatian besar kita ke bidang infrastruktur.

Impak ekonomi dalam jangka pendek pasti tidak sebesar anggaran infrastruktur itu sendiri. Karena itu kritik mengenai time lag (kesenjangan antara waktu pembangunan atau investasi dan waktu pengembalian modal dalam skala ekonomis) sebetulnya sudah merupakan konsekuensi logis dari suatu langkah pembangunan yang berorientasi jangka panjang, karena time lag adalah sesuatu yang inheren dalam suatu langkah kebijakan publik jangka panjang. Jika pembangunan infrastruktur sekadar sebuah langkah bisnis suatu entitas bisnis, pastilah persoalan time lag tersebut merupakan persoalan sangat serius dan dapat menjadi dasar gugatan terhadap kelayakan rencana pembangunannya. Tetapi tentu saja jelas, bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Jokowi mengemban misi-misi yang berkarakter sebagai kebijakan publik, yakni keadilan antar daerah, persatuan nasional, dan daya saing ekonomi jangka panjang; dan karena itu tidak bisa dievaluasi hanya berdasarkan kriteria time lag dengan cita rasa kepentingan satu korporasi.

Kritik dan pertanyaan yang lebih relevan adalah, apakah kebijakan publik yang berdimensi jangka panjang tersebut tidak mengganggu ketahanan fiskal kita jangka pendek dengan banyak komponen kebutuhan belanja dan komponen pemasukan lainnya? Apakah hasil di suatu waktu di jangka panjang tersebut sepadan dengan harga (tradeoff) yang harus dibayar hari ini?

Sampai ke tingkat mana lagi kebutuhan infrastruktur harus dipenuhi untuk boleh melihat hasilnya di suatu waktu tersebut? Variabel daya saing mana lagi yang harus dibenahi dan sampai di tingkat pembenahan seperti apa agar boleh menyongsong waktu panen tersebut?

Kewajaran Angka

Seperti yang sudah banyak diinformasikan, kondisi fiskal kita masih sehat menurut parameter Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengamanatkan defisit anggaran tidak lebih dari 3% dari Produk Domestik Bruto dan jumlah pinjaman maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.

Defisit anggaran dalam APBN 2019 sendiri sebesar 1,84% dari PDB, yang merupakan angka defisit terkecil dibandingkan angka defisit terkecil yang pernah terjadi di tahun 2012, yakni sebesar 2,8 persen terhadap PDB. Angka itu juga memperlihatkan tren penurunan yang signifikan dari angka defisit APBN 2015 sebesar 2,59 persen, menuju 2,49 persen di 2016, 2,15 persen di 2017 dan 2,12 persen di 2018.

Utang pemerintah sendiri, yang sudah menumpuk sejak periode-periode kepemimpinan sebelumnya, masih berada pada kisaran 30 persen, jauh di bawah lampu merah Undang-Undang. Total utang pemerintah pusat per Oktober 2018 mencapai Rp 4.478,5 triliun, yang terdiri atas pinjaman sebesar Rp 833,9 triliun dan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.644,6 triliun.

Total pinjaman sebagian besar merupakan pinjaman luar negeri, yang terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 334,6 triliun, pinjaman multilateral sebesar Rp 446,9 triliun, dan pinjaman komersial mencapai Rp 46 triliun.

Sementara itu, utang yang berasal dari penerbitan SBN terdiri dari SBN dalam denominasi rupiah dan denominasi valas yang masing-masing mencapai Rp 2.570,5 triliun dan Rp 1.074,1 triliun. Posisi utang, dengan demikian, relatif terkendali, dan tidak perlu membuat suasana batin menjadi mencekam. Apalagi jika kita secara pintas membandingkan utang negara lain.

Di Amerika dan Jepang, rasio utang terhadap PDB masing-masing berada di angka 105 persen dan 253 persen. Angka sebesar itu cukup umum di negara maju yang secara mudah bisa mendapatkan pinjaman. Di kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga relatif rendah.

Tentang besarnya belanja infrastruktur, adalah penting buat kita untuk menggali sejumlah perspektif dalam melihat besarnya belanja infrastruktur. Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) A Tony Prasetiantono suatu waktu di tahun 2017 mengungkapkan, bahwa menurut rekomendasi para ekonom dunia, idealnya belanja infrastruktur suatu negara sekurang-kurangnya adalah lima persen terhadap produk domestik bruto atau GDP.

"Saat ini GDP Indonesia sebesar Rp12.500 triliun, artinya lima persennya adalah Rp. 600 triliun per tahun. Alokasi APBN 2017 untuk infrastruktur adalah sebesar Rp387 triliun sehingga masih membutuhkan sekitar Rp213 triliun kekurangan dananya untuk mencapai porsi itu," katanya ketika itu (18/7/2017).

Berkomentar terhadap APBN 2017 tersebut, dia menilai angka belanja infrastruktur ( sebesar Rp. 387 triliun ketika itu) sudah cukup baik, dibandingkan era sebelumnya, namun masih kurang apabila mengacu pada acuan seperti di India sebesar lima persen atau China sebesar 10 persen terhadap GDP mereka.

Global Infrastructure Hub (GI Hub), seperti yang dikutip wartaekonomi.co.id 9 Januari 2018, memproyeksikan kebutuhan pembangunan infrastruktur kita sampai tahun 2040 mencapai 1,7 trilyun dolar AS atau sekitar Rp. 23.000 trilyun. Ini berarti, kita perlu membelanjakan sekitar Rp. 1000 trilyun per tahun anggaran untuk kebutuhan infrastruktur.

Melihat proyeksi GI Hub ini, maka sebetulnya sangat wajar jika Jokowi “ngebet” mengejar Rp 4.150 triliun untuk mendanai 223 proyek dan 3 program yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional untuk satu periode kepemimpinannya, yang bisa beasal dari APBN, BUMN/D, maupun swasta.

Outlook GI Hub mengungkapkan bahwa infrastruktur jalan membutuhkan investasi terbesar hingga 2040, diikuti oleh listrik, air, dan telekomunikasi. Infrastruktur listrik dan jalan berkontribusi hampir 80% dari kebutuhan investasi Indonesia yang diperkirakan sebesar 1,7 trilyun dolar AS tersebut.

Bagaimana Infrastruktur Bekerja

Tentang bagaimana infrastruktur bekerja dalam menjawab kebutuhan manusia, baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan sosial, pada tingkat minimal, tentu sangatlah bisa dipahami. Mengargumentasikannya menjadi tidak masuk akal. Tetapi bagaimana infrastruktur bekerja dalam memproduksi kehebatan suatu ekonomi, sampai karena itu kita harus menghabiskan uang sangat banyak untuk membangunnya, tentu bukanlah hal yang mudah untuk kita pahami.

Penelitian IMF sendiri mengungkapkan bahwa menginvestasikan 1% lebih banyak PDB ke dalam modal publik dapat memberikan dorongan kepada PDB hingga 2,5% dalam jangka panjang. Tetapi, pernyataan yang “tidak operasional” tersebut tentu belum menjawab kebutuhan kita untuk memahami bagaimana pengaruh itu bisa terjadi. Saya pun berada pada posisi yang tidak memahami dengan baik aliran proses dan pengaruh tersebut, sedemikian rupa sampai menghasilkan kemajuan ekonomi.

Sebagai orang yang awam di bidang ilmu ekonomi infrastruktur, saya hanya melihat bahwa kalau India dan Cina sangat ngebet dalam membangun infrastrukturnya, dalam magnitude yang lebih besar dari kita, itu berarti infrastruktur berkemungkinan besar merupakan “sesuatu” dalam kehidupan ekonomi dan sosial mereka.

Dia pasti merupakan variabel dalam kemajuan ekonomi dan sosial. Dia pasti sungguh-sungguh merupakan variabel daya saing yang diamanatkan sejumlah lembaga survei, dan kita harus “membelinya” dengan segala konsekuensi anggaran yang tak terelakkan.

Sebagai orang awam, saya juga hanya bisa memiliki referensi perbandingan konkret seperti jalan tol Jakarta-Bogor. Pasti pembangunannya ketika itu membutuhkan anggaran yang relatif besar, dipertanyakan kegunaannya, digugat impaknya pada para usahawan mikro dan kecil yang mencari hidup di jalur lalulintas Jalan Raya Bogor, dan dipertanyakan waktu pengembalian modalnya.

Tetapi bisa kita banyangkan hari ini kalau Jalan Tol Jabodetabek ini tidak dibangun. Dan walaupun nilai keekonomian pada saat awal (pengembalian modal) tidak kelihatan, waktu hidup jalan tol ini ternyata sangat panjang, dan waktu panennya juga panjang sedemikian rupa sehingga, kita merasa aneh ketika tarifnya tidak lagi naik.

Jalan pikiran sederhana saya juga membayangkan akan seperti itu pengaruh jalan tol Trans Sumatera. Tol sepanjang 2.700 km, yang hadir di suatu pulau yang pernah dijuluki sebagai “pulau emas”, dengan luas 473.481 km2, dengan penduduk 57.940.351 orang, dengan 4 dari 5 propinsi penghasil kelapa sawit terbesar (Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi) di negara penghasil sawit terbesar di dunia, dengan destinasi wisata unggul di beberapa propinsi seperti Sumatera Barat, tentu akan memproduksi kehebatan melampaui apa yang kita bayangkan hari ini.

Berbasis produk primer kelapa sawit, ekonomi Sumatera pasti memiliki ruang berkembang yang masih besar. Jika potret perbandingan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam mengembangkan produk turunan CPO dibanding Malaysia, dengan perbandingan belasan berbanding 120-an, maka kita bisa membayangkan bagaimana infrastruktur semacam Trans Sumatera dapat memfasilitasi perkembangan hilirisasi industri sawit tersebut.

Dan perkembangan industri ini, yang pasti meningkatkan pendapatan masyarakat, tentu selanjutnya meningkatkan juga kebutuhan bermobilisasi, berbelanja, dan berwisata yang tentu berimplikasi pada keekonomian jalan tol, peningkatan perkembangan sektor perdagangan, demikian pula perkembangan sektor pariwisata. Maka terjadi proses saling memperkembangkan antarsektor–sektor industri yang menciptakan kondisi bagi perkembangan sektor perkebunan, sektor transportasi dan perdagangan, sektor konstruksi, sektor pariwisata, juga dari arah sebaliknya dari sektor mana saja—yang dapat melipatgandakan dan mempercepat perkembangan ekonomi suatu wilayah. Dan pertumbuhan penduduk, memberikan bobot tambahan pada perkembangan ekonomi wilayah ini.

Proyeksi perkembangan-perkembangan tersebut, yang pasti juga terjadi di wilayah lain yang mendapat intervensi pembangunan infrastruktur skala besar di bawah Proyek Strategis Nasional, pasti berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

Tapi jika dampak langsung perkembangan tersebut belum memadai, karena tidak bisa melibatkan secara langsung semua yang berkebutuhan untuk bekerja dan berpenghasilan, perkembangan tersebut pasti memberikan kontribusi pada peningkatan kapasitas ekonomi Negara melalui pajak, yang akan selanjutnya meningkatkan kapasitas kita dalam mengentaskan kemiskinan dengan program-program sosial yang lebih berdaya. Angka kemiskinan pasti berkurang secara cukup signifikan di jangka panjang, dan sisanya (yang pasti masih ada karena angka kemiskinan kita hari ini masih cukup tinggi) dapat kita topang dengan angka-angka subsidi (baik pangan, pendidikan, dan kesehatan) yang jauh lebih baik.

Negara Kesejahteraan

Pada akhirnya, jalan panjang memang harus kita lewati. Karena bangsa ini harus memastikan kehidupan, kesejahteraan, dan daya saingnya secara jangka panjang. Kita memang memiliki kebutuhan belanja sosial yang besar di jangka pendek sekarang, dan angka-angka kemiskinan dan pengangguran itu sudah cukup terang. Tetapi kita tidak bisa menghabiskan seluruh kapasitas kita untuk program-program sosial hari ini. Kita juga berkepentingan untuk mengembangkan kapasitas kita untuk kelanjutan program-program tersebut di masa yang akan datang.

Jokowi telah melihat kebutuhan untuk peningkatan kapasitas tersebut, untuk memastikan kemartabatan dan kesehatan ekonomi negeri kita pada masa yang akan datang. Dia tahu ada harga yang harus dibayar hari ini, tetapi dia tetap mau melihat nasib bangsa di jangka panjang. Karena itu dia mengelola kedua perhatian tersebut dengan seimbang, dengan mengambil langkah jangka panjang tapi sekaligus juga menjawab harapan dari situasi kemiskinan masyarakat dengan program-program sosial yang nilainya meningkat secara pasti dari tahun ke tahun.

Jumlah anggaran dan besaran intervensi pembangunan infrastrukturnya fantastis dibandingkan dengan periode-periode kepemimpinan sebelumnya. Dan itu menggambarkan besarnya kepercayaan diri Jokowi pada visinya, dan keyakinan pada benarnya jalan yang sedang dia ambil untuk kemajuan negeri.

Langkah besar Jokowi di bidang infrastruktur ini adalah langkah yang visoner, dibimbing oleh suatu visi cerdas. Membangun suatu negara kesejahteraan, yang kapabel dalam jangka panjang.

Tentu masih ada variabel lain yang sudah dan sedang digarapnya: sumber daya manusia, birokrasi dan perijinan, regulasi, pemberantasan KKN, dan sejumlah deretan agenda reformasi lain. Namun demikian dia tahu, bahwa yang terberat secara anggaran, dan karena itu mudah melemahkan komitmen, adalah pembangunan infrastruktur. Karena itu, dengan segala kependekarannya, dia mau mengambil risiko ini, walaupun dia juga tahu, keuntungan politisnya sangat terbatas.

Maka walau badai kritik berhembus sangat kencang, kerja pengumpulan dan pengolahan data saya membawa saya kembali pada keyakinan, bahwa apa yang dibuat Jokowi adalah sesuatu yang berkualifikasi fantastis. Skala, kecepatan, dan ketegasan visionernya melampaui batas bayangan saya dan banyak orang lain.*****

Penulis, Pegiat Politik DPP Partai Kebangkitan Bangsa

BACA ARTIKEL LAINNYA... PT PII Siapkan Pengembangan RSUD Zainoel Abidin Aceh


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler