Ingin Menang, Jangan Sembarangan Bikin Slogan

Senin, 11 Juni 2012 – 00:40 WIB
Hingdranata Nikolay. Foto: Soetomo Samsu

HAMPIR semua calon kepala daerah mengusung slogan tertentu saat kampanye. Kalimat slogan sering kali menggunakan susunan kata yang kaku, normatif, yang sekaligus menggambarkan visi-misinya saat nanti berkuasa. Adakah kalimat-kalimat slogan punya andil mempengaruhi massa?
-------------
Soetomo Samsu-Jakarta
------------
Bagi warga Sumut, tentunya masih ingat betul slogan unik Syamsul Arifin saat maju dalam pilgub 2008 silam. "Rakyat tak lapar, rakyat tak bodoh, rakyat tak sakit". Kalimat itu nampak tidak keren. Namun faktanya, Syamsul bersama pasangannya saat itu, Gatot Pujo Nugroho, akhirnya memenangkan pilgub Sumut 2008.

Hingdranata Nikolay, seorang peraih gelar Licensed Master Trainer of Neuro-Linguistic Progamming (NLP) dari perintis ajaran NLP Dr Richard Bandler, menyatakan, slogan yang diusung kandidat calon, baik capres maupun calon dalam pemilukada, punya pengaruh besar dalam memengaruhi publik.

Untuk slogan Syamsul itu, kekuatannya bukan pada kata "tidak", tapi pada kata "lapar", "bodoh", dan "sakit". "Karena menurut Hing, otak manusia cenderung tidak memproses kata "tidak".

"Buktinya, bila ada kalimat "tidak boleh merokok di sini", tetap saja orang pada merokok di dekat kalimat yang ditempel di situ. Tidak boleh kencing di sini, malah kencing di situ," ujar Hing, panggilan akrab pria kelahiran Maumere, Flores, 22 Desember 1972 itu, kepada JPNN di Jakarta, Sabtu (9/6).

NLP sendiri tergolong sebuah "ilmu" yang relatif baru diperkenalkan di Indonesia. Lebih tepatnya, saat ini hanya sedikit publik Indonesia yang mengenalnya. Menurut Hing, orang yang sudah menguasai ilmu NLP akan memaknai sebuah kalimat dari kata per katanya.

"Bukan langsung memaknai satu kalimat itu. Sehingga, orang yang menguasai ilmu ini, dia akan pandai berdebat, dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Sebaliknya, dia pintar mempengaruhi orang lain," urai peraih gelar Master Trainer di bidangnya itu, pada 19 Maret 2012 di Orlando, USA. Hing merupakan orang pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara yang sudah sampai pada level kehormatan itu.

"Ilmu ini sangat cocok bila dipelajari para politisi. Karena ilmu ini juga mempelajari pola linguistik," ujarnya. Menurutnya, kata "bodoh;, "sakit", dan "lapar", merupakan bagian linguistik yang sudah marasuk dalam publik Indonesia. Karenanya, gampang diingat dan cukup mengena.

Hing, alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Atmajaya Jakarta ini, memberi contoh slogan capres 2009, yakni dengan membandingkan slogannya SBY dengan slogannya Jusuf Kalla. Slogan SBY "lanjutkan!". Sedang slogan JK saat itu, "lebih cepat lebih baik".

Menurut Hing, selain karena lebih simpel, slogan SBY juga cocok dengan "pola linguistik" masyarakat kebanyakan Indonesia, yang lebih suka kemapanan. "Rakyat Indonesia itu tipikalnya tak suka berspekulasi ke hal-hal baru, takut terjerumus pada ketidakpastian. Buktinya, Soekarno dan Soeharto bisa bertahan lama berkuasa," ujarnya.

Bagaimana dengan slogan JK? Menurut Hing, slogan politisi senior asal Makassar itu tidak sejalan dengan "alam pikir" rakyat Indonesia kebanyakan. Penduduk Jawa, sebagai mayoritas pemilik suara, tidak tersentuh dengan slogan JK itu.

Di Indonesia, kata Hing, sangat populer kalimat "biar lambat asal selamat". Atau di Jawa terkenal dengan kalimat, "alon-alon waton kelakon" (pelan asal sampai tujuan).

"Entah berapa persen kalimat slogan mempengaruhi publik, tapi jelas sangat berpengaruh," ujar Hing, yang mengaku sering diundang perusahaan untuk mendongkrak semangat SDM perusahaan-perusahaan kliennya itu. Hing, ayah tiga anak itu, sudah mendalami dan mengapilkasikan ilmu unik ini sejak 1997.

Tapi dia membantah dirinya berprofesi sebagai motivator, semacam Mario Teguh atau Ary Ginanjar. "Kalau motivator, lebih memberi imbauan dari luar agar merasuk ke dalam. Tapi NLP memberdayakan dari dalam, agar yang keluar bisa lebih semangat," urainya.

Dia ingin menerapkan ilmunya itu tidak semata kepada perusahaan-perusahaan. Namun, sebisa mungkin lebih luas lagi. Di pemerintahan, politisi, atau pun atlit-atlit olah raga. Untuk politisi, bisa untuk memperkuat pengkaderan. "Agar kader partai lebih berani bicara dengan kalimat-kalimat yang fokus, yang bisa mengena ke publik," ujarnya, seolah berpromosi.

Dia mengatakan, disain struktur internal setiap manusia berbeda-beda. Ada yang memang punya bakat pemberani, ada yang lemah. "Nah, NLP membantu supaya seseorang punya struktur internal yang baik," ujarnya.

Kembali ke soal slogan kandidat. Kandidat calon gubernur Sumut, Sutan Bathoegana, sudah mengusung slogan Sumut MANTAB !. Singkatan dari Maju, Aman, Nyaman, Tertib, Asri, Bersih.

Saat ditanya soal slogannya itu, Sutan mengatakan, dirinya akan lebih gencar mensosialisasikan slogan yang lebih enak masuk ke ingatan warga Sumut. “Jadi bukan hanya MANTAB, tapi MANTAB, Jadilah Barang Itu,” ujar Sutan kepada JPNN.

Seperti diketahui, kalimat ‘jadilah barang itu’ selama ini seolah sudah menjadi ‘hak patennya’ Sutan.

Sedang jagonya PPP untuk pilgub Sumut 2008, Fadli Nurzal, mulai gencar mengenalkan dirinya dengan slogan "cerdas, santun, dan bersahabat".

Wakil Ketua Umum PPP Hasrul Azwar, pernah mengatakan ke JPNN, agar Fadli meniru model slogannya Syamsul Arifin. Tampaknya, sebagai politisi bangkotan, sadar atau tidak, Hasrul sudah mengenal ilmu yang ingin disebarkan Hing. Hanya saja, Hasrul tidak langsung minta Fadli menjiplak slogan mantan bupati Langkat yang kini masih berada di rutan Salemba itu.

Hing sendiri tidak mengupas slogan Sutan dan Fadli. Barangkali kedua kandidat itu harus menjadi kliennya terlebih dulu. Tidak tahu berapa tarifnya.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengikuti Operasi Pasien di Atas Kapal USNS Mercy di Manado


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler