Ingin Pelajar Bangga Pakai Sepatu Merek Indonesia

Senin, 03 Februari 2014 – 12:42 WIB
Kegigihan para pengrajin sepatu di Tengerang. Foto: INDOPOS/JPNN.com

jpnn.com - Upaya pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan perajin Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masih jauh dari harapan. Masalah anggaran menjadi persoalan fundamental. Sementara para perajin UMKM harus terus bergerak dan berusaha. Seperti para perajin sepatu yang tergabung di Asosiasi Perajin Tangerang (APTA) yang punya sejumlah idealisme dalam membuat sebuah produk, selain motif ekonomi. Apa itu?

BRIGITA SICILLIA, Tangerang

BACA JUGA: Mimpi Besarnya, Indonesia Kirim Delegasi Memory Sport Terbanyak

PABRIK sederhana dibangun di areal padat penduduk. Tapi, pabrik itu tidak sendirian. Ada beberapa pabrik yang tidak terlalu luas dibangun di sejumlah areal di kawasan belakang perumahan Citra Raya Cikupa, Tangerang. Sebagian dari pabrik-pabrik di sana adalah milik perajin sepatu. Mereka adalah para perajin yang awalnya bekerja di pabrik sepatu besar di kawasan Tangerang.

Namun sayang, pada 2002 silam pabrik tersebut bangkrut dan seluruh karyawannya di-PHK tanpa pesangon. Jadilah, sekitar 7.000 karyawan hidup terlunta-lunta. Sebagian pulang ke kampung halaman, sisanya membuka bisnis sendiri dan berpencar-pencar.

BACA JUGA: Minta Dikerok, Batuk-Batuk lalu Pingsan

Muhammad Dahlan, adalah satu dari sekian banyak karyawan korban PHK yang kemudian mencoba peruntungan membuka pabrik rumahan untuk sol sepatu. ’’Dengan modal pinjaman sebesar Rp 5 juta, saya mencoba peruntungan membuka industri rumahan. Hanya berdua dengan teman saya,’’ kata pria asal Lampung itu ketika ditemui INDOPOS (JPNN Group) di pabriknya kawasan Desa Dukuh, Cikupa, Tangerang, belum lama ini.

Dia yang tergabung dalam APTA itu mengaku jatuh bangun sebagai perajin sepatu. Selain terbentur masalah modal, dia juga mengaku belum tahu akan dikemanakan produksi sol sepatu miliknya itu. ’’Karena sebagai buruh kan cuma tahunya bikin sepatu saja.

BACA JUGA: Berawal dari Sketsa, Kejahatan Seks 10 Tahun Terbongkar

Sementara sebagai perajin, harus tahu bagaimana memasarkan produk juga. Akhirnya saya mau tidak mau belajar dari nol dengan pengetahuan seadanya,’’ aku pria berdarah Sunda-Jawa itu. Berkat kegigihan, akhirnya dia berhasil men dapatkan sejumlah pelanggan.

Baik dari toko-toko sepatu di sekitar Tangerang, hingga be berapa orderan dari China. Sejak tiga tahun lalu, Dahlan mengaku bisnis UMKM miliknya sudah berjalan lancar dan sudah mampu menghasilkan omzet kotor sebulan sebesar Rp 4 miliar. Tapi, seperti diutarakan sebelumnya, bahwa para perajin yang tergabung di APTA bukan se kadar mencari uang semata.

Jauh di balik itu, ada keinginan dari mereka untuk memiliki merek sendiri khas Indonesia yang kelak bi sa mendunia dan menjadi kebanggaan bangsa. ’’Saya pernah mencoba membuat produk de ngan merk lokal. Ada dua merek. Satu merek ecaimos yang dalam bahasa latin berarti landak dan merek beller,’’ urainya. Untuk mendapatkan cetakan merek itu, pria kelahiran 45 tahun silam itu sudah menghabiskan uang sebesar Rp 50 juta per merek. Tapi apa yang terjadi? Usahanya itu gagal total.

Sepatu dengan merek ecaimos dan beller itu ditolak pasar. Tidak banyak toko sepatu yang menerima produknya. Hanya beberapa dan itu pun berani ambil untuk beberapa pasang sepatu. ’’Yang mencoba pasarkan produk lokal bukan saya saja. Ada juga teman yang coba hasilkan produk dengan merek Banten tidak laku juga,’’ keluhnya.

Meski secara bisnis para perajin bisa bertahan dengan memproduksi merek-merek bran ded seperti nike, adidas, dan vans, tapi mereka punya keinginan besar agar produk dengan merek asli Indonesia bisa go international. ’’Paling tidak, kami ingin pelajar In donesia itu bangga menggunakan sepatu dengan merek lokal yang Insya Allah bisa go international. Bukan tahunya hanya merek luar negeri saja,’’ ungkap Dahlan.

Hal senada diungkap Toni yang pabriknya berada di Desa Mekar Bakti, Tangerang. Dia juga mengaku punya keinginan untuk memperkenalkan produk sepatu dengan merek Indonesia.

”Masalahnya, kalau tidak ada pembeli, maka tidak mungkin ada penjualan. Padahal kalau dari sisi standar produksi, kami semua rata-rata sudah tahu standar ekspor karena pernah bekerja di pabrik besar. Masalahnya ada pada sisi promosi,’’ akunya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingin Perjuangan Yos Sudarso Difilmkan untuk Luruskan Sejarah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler