Ini Alasan Jokowi Disebut sudah Menabrak Hukum soal Kapolri

Minggu, 22 Februari 2015 – 09:16 WIB
Presiden Jokowi. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Ahli hukum dari Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Fadli Nasution menilai apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo terkait proses pencalonan Kapolri, salah.

Presiden Jokowi pada 9 Januari 2015 meminta DPR untuk memberhentikan Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.

BACA JUGA: Jokowi Hanya Bikin Anggaran Membengkak, Macet dan Berisik

Pada tanggal itu juga, sesuai Pasal 11 UU 2/2012 tentang Polri, diperlukan persetujuan DPR. Singkatnya, setelah diproses akhirnya DPR menyetujui dan Sutarman berhenti.

Fadli yang merupakan Ketua PMHI mengatakan, pemberhentian dan pengangkatan Kapolri tidak bisa berdiri sendiri, dia satu paket yang dimintai persetujuan DPR.

BACA JUGA: UU Sumber Daya Air Dibatalkan, Desa Adat Diuntungkan

"Lalu kenapa presiden hanya menjalankan putusan DPR yang menyetujui pemberhentian Sutarman, tapi tidak mengangkat BG sebagai Kapolri yang juga sudah disetujui?" ujar Fadli, Minggu (22/2).

Namun itu sudah dijawab oleh Presiden Jokowi lewat suratnya ke DPR pada 18 Februari kemarin bernomor R-16/Pres/02/2015. Dalam surat itu diterangkan, Jokowi memberhentikan Sutarman, dan menjelaskan tentang penundaan pelantikan BG karena jadi tersangka oleh KPK, serta mengusulkan calon baru Kapolri Komjen Badrodin Haiti.

BACA JUGA: Duh! Pen Patah Tulang Ilegal Beredar di Kota-kota Besar

Fadli menjelaskan, menunda pengangkatan BG kerena jadi tersangka di KPK bukan alasan yang tepat. Karena BG jadi tersangka sebelum disetujui oleh paripurna DPR. "Jika alasan jadi tersangka menunda pengangkatan, bukankah yang tepat adalah presiden mencabut surat tanggal 9 dengan membatalkan pencalonan BG," ungkapnya.

Dan konsekuensinya, lanjut Fadli, DPR batal membuat persetujuan, dan Jenderal Sutarman tetap Kapolri yang memang belum masuk masa pensiun. 

Tapi ini tidak dilakukan, dibiarkan sampai DPR membuat keputusan, persetujuan pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Putusan DPR ini telah menjadi produk hukum. "Logikanya, presiden yang minta persetujuan DPR, setelah disetujui kenapa tidak dilaksanakan? Harus dipahami putusan DPR itu setara dengan pengesahan UU," terang Fadli.

Ia menambahkan, prinsipnya sama, putusan DPR juga ada yang bersifat besickhing dan regeling. Terhadap orang per orang berlaku besickhing dan regeling berupa peraturan. "Keputusan DPR yang diambil dalam paripurna adalah merupakan representasi rakyat Indonesia, begitu lah lazimnya demokrasi perwakilan," tandas Fadli. (rmo/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hatta Dianggap Lebih Unggul Dibanding Zulkifli


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler