jpnn.com - SURABAYA – Peredaran pen patah tulang ilegal diduga telah menyebar di beberapa kota besar, tidak hanya di Surabaya. Dugaan ini menguat pascatertangkapnya dua tersangka produsen pen patah tulang ilegal, Ernawati, 37, dan Sujoko Purwantoro.
Seorang penyidik polrestabes yang menangani kasus itu mengatakan, kota besar tersebut, antara lain, Malang, Solo, Jogjakarta, Balikpapan, Samarinda, dan Papua. Khusus di Malang, peralatan itu biasa dipakai pasien patah tulang yang berobat di rumah sakit pemerintah.
BACA JUGA: Hatta Dianggap Lebih Unggul Dibanding Zulkifli
Penyidik itu menambahkan, selama ini tersangka kerap mencatut merek dagang lain yang sudah memiliki izin edar. Merek dagang yang mereka pasarkan bernama orthoX. Untuk meyakinkan para konsumen, produk yang mereka pasarkan dilabeli KW2. Dengan harga lebih miring, banyak pasien patah tulang yang tergiur membelinya.
Dikonfirmasi mengenai hal itu, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Sumaryono tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Dia mengatakan hanya terpaku pada pengakuan dua tersangka yang kini ditahan. Yakni, peredaran pen patah tulang tersebut hanya di Surabaya.
BACA JUGA: Anak Buah Prabowo Minta Jokowi Tunda Eksekusi Hukuman Mati
”Pengakuan tersangka masih belum ke sana. Itu perlu kami dalami,” kata Sumaryono. Di antaranya, memerika para ahli ortopedi. Dengan begitu, dampak pasien yang menggunakan peralatan tanpa izin edar tersebut bisa segera diketahui.
Itu mengacu pada alat bukti yang ditemukan polisi, yakni tanda bukti pembayaran pembelian pelat yang diberikan kepada tiga rumah sakit di Surabaya. Meski demikian, perwira polisi asli Surabaya tersebut tetap menyelidiki lebih mendalam kasus itu.
BACA JUGA: Jokowi Pindah ke Bogor, Warga Pertanyakan Istana Open
Jawa Pos kemarin juga memantau tempat produksi pelat tersebut di kompleks Pergudangan Permata Jabon II JJ/ B-12, Tambaksawah, Waru, Sidoarjo. Tidak ada aktivitas berarti di sana. Yang terlihat hanya police line di gudang tersebut. Demikian juga halnya dengan kantor distributor PT DMS di Jalan Raya Gubeng 63. Di kantor yang menempati ruko seluas 4x7 meter dan berlantai tiga itu juga tak ada aktivitas.
Sabtu (21/2), jajaran Polrestabes Surabaya berhasil mengungkap pen patah tulang tanpa izin edar. Dua tersangka ditetapkan dalam kasus itu. Yang bikin miris, peralatan tersebut beredar di berbagai rumah sakit pemerintah dan swasta di Surabaya.
Sekretaris Departemen Ortopedi dan Traumatologi RSUD dr Soetomo dr Tri Wahyu Martanto SpOT menyatakan baru mendengar adanya peredaran pen patah tulang tanpa izin edar itu.
’’Baru sekitar akhir 2014. Plus-minusnya belum tahu karena RSUD dr Soetomo tidak pakai merek itu,’’ imbuhnya.
Dia menyatakan, yang memiliki wewenang untuk menyortir pen patah tulang adalah Asosiasi Pedagang Implan Ortopedi dan Traumatologi Indonesia (APIOTI). Secara umum, staf pengajar Universitas Airlangga tersebut juga menyatakan bahwa pen yang beredar umumnya bukan produk hulu–hilir. Maksudnya, tiap partikel pen diproduksi pabrik yang berbeda-beda.
’’Setahu saya, belum ada yang memproduksi lengkap satu perangkat,’’ tegasnya. Tiap pabrik berkonsentrasi pada pen untuk kasus tertentu, seperti traumatologi dan penyakit degenerasi.
Tri Wahyu menambahkan, RSUD dr Soetomo sudah lama mengenal PT DMS sebagai distributor pen. Sudah lebih dari 20 tahun rumah sakit tersebut memercayakan suplai produk implan ke perusahaan yang beralamat di Gubeng itu.
’’Karena langganan, biasanya kami mengorder langsung ke perusahaan tersebut,’’ tutupnya. (did/fam/c7/git)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Publik Menunggu Sikap Tegas Ruki terkait Kasus BG
Redaktur : Tim Redaksi