jpnn.com, MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyatakan alasan tidak percaya pada Polres Luwu Timur (Lutim) Sulawesi Selatan, terkait kasus dugaan ayah mencabuli tiga anak kandung.
Menurut Direktur LBH Makassar Haedir, ketidakpercayaan didasari terkait hal mendasar yakni menjaga identitas anak yang terkait dengan dugaan dimaksud.
BACA JUGA: Herman Herry Minta ini ke Kapolri Terkait Dugaan Ayah Mencabuli 3 Anak Kandung
Karena itu, LBH Makassar meminta Polri profesional menangani kasus yang penyelidikannya dihentikan pada 2019 lalu.
"Kami minta Polri lebih profesional. Satu hal kenapa kami tidak mempercayai Polres Lutim, karena menjaga identitas anak saja tidak mampu," ujar Muhammad Haedir saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jalan Nikel Raya, Sabtu (9/10).
BACA JUGA: Cucu Presiden Jokowi ini Luar Biasa, Usia 3 Tahun Hafal Lagu Kebangsaan
Haedir juga menyebut Polres Lutim saat mengklarifikasi di media sosial internalnya, menyebut identitas asli ibu korban.
Hal ini tentu menjadi preseden buruk dalam hal penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum serta dinilai melabrak aturan yang ada.
BACA JUGA: Kepala Daerah ini Mengeklaim Tak Ada Kecurangan Dalam Penerimaan CASN
Tidak hanya itu, beberapa fakta yang disampaikan dan diserahkan ke Polda Sulsel saat gelar perkara kedua Maret 2020 berupa bukti foto para korban yang diabadikan ibunya berinisal SA, terdapat kerusakan pada alat seksual ketiga anaknya.
Namun, fakta itu terkesan diabaikan.
Begitu juga pelapor SA sebelumnya telah melakukan pemeriksaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili pada 2019, mendapatkan surat rujukan dari dokter lain untuk berobat.
Tertulis, hasil diagnosis bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan alat kelamin serta "child abuse" tidak dinilai.
Berkaitan dengan penghentian perkara itu dalam proses penyelidikan melalui penetapan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan penyidik Polres Lutim, pihaknya menilai sangat prematur.
Pengajuan bukti-bukti bukan kewenangan LBH
Haedir menyinggung soal pernyataan Polda Sulsel yang mempersilakan LBH mengajukan bukti-bukti baru pada kasus ini agar bisa dibuka.
Haedir menyebut pernyataan itu salah alamat.
Sebab, tidak ada kewenangan LBH mengambil dan mengajukan alat bukti, tetapi itu tugas dan ranah aparat kepolisian.
"Fakta-fakta yang telah disebutkan tadi, minimal ada tiga hal fakta yang harus diambil sendiri oleh polisi, bukan LBH," katanya.
"Pertama, hasil visum, kedua hasil rekam medik anak saat diperiksa di Rumah Sakit di Lutim."
"Ini harus diambil polisi sendiri, LBH tidak bisa, LBH tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan," katanya.
Menurut dia, dalam aturan KUHPidana yang melakukan penyelidikan adalah wewenang kepolisian.
Bukan malah korban yang dibebankan, tetapi kepolisian, sehingga untuk mengetahui itu dibuka terlebih dahulu perkaranya kembali kemudian dilakukan penyelidikan, begitu seharusnya.
"Bagaimana bisa korban dibebani pembuktian. Seharusnya yang membuktikan itu penyidik."
"Siapakah yang berwenang mencari bukti dalam KUHP? itu polisi, penyidik dalam hal ini."
"Jadi, tidak benar kami diminta menyampaikan bukti, karena bukti sebenarnya ada di rumah sakit, kami tidak punya akses," katanya.
Haedir mengungkapkan metode yang dijalankan P2TP2A Luwu Timur sudah salah dengan mempertemukan anak korban dengan terduga pelaku.
Padahal, prosedurnya tidak dibolehkan, seharusnya para korban anak dijauhkan dari terduga pelaku, dalam hal asesmen, bukan malah sebaliknya memintanya datang bertemu.
Sementara itu, Ketua Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, sekaligus pendamping hukum para anak korban Rezky Pratiwi menyatakan seharusnya ada pemeriksaan saksi lain.
Kemudian, penggalian petunjuk lain yang sangat mungkin dilakukan oleh penyidik.
"Jadi kami dalam gelar perkara di Polda Sulsel sudah menyampaikan dokumen-dokumen."
"Itu tinggal di follow up saja. Kalau misalnya penyelidikan ini dibuka kembali, kami sangat terbuka untuk bekerja sama dengan penyidik."
"Kami sangat siap dan meminta untuk dilibatkan secara penuh. Tetapi prosesnya harus dibuka dulu (penyelidikan kembali) oleh Polri."
"Surat SP3 dan pemberitahuan kepada pelapor juga harus dicabut Polri, baru kami masuk bekerja sama dan terlibat."
"Tidak dengan statemen di media atau panggilan yang sifatnya tidak formal," katanya.
Tim pendamping hukum berharap kasus ini dibuka kembali, karena penting bagi pelapor agar ada kepastian hukum dalam kasus ini.
Selain itu, pihaknya membutuhkan surat pemberitahuan secara resmi dari Polri terkait pembukaan kembali kasus ini.
Sebelumnya, Polri melalui Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri mengerahkan Tim Asistensi ke Luwu Timur, terkait kasus dugaan rudapaksa terhadap tiga anak di bawah umur.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan pengerahan Tim Asistensi Bareskrim Polri ini untuk memberikan pendampingan kepada Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan terkait proses hukum kasus dugaan rudapaksa tersebut.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang