Mendekati hari pemilu dan pilpres hari Rabu (17/4/2019) jumlah golput di Indonesia dikhawatirkan makin meningkat. Di lini masa media sosial, golput dituding tak acuh terhadap masa depan bangsa. Benarkah warga absen memilih hanya karena alasan politis? Fenomena golput di Indonesia
BACA JUGA: Antisipasi Antusiasime Pemilih Di Dalam Negeri, KPU Diminta Fleksibel
Steven (28) enggan memberikan suaranya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini, padahal di tahun-tahun sebelumnya ia tak pernah absen.
Jengah, alasan yang diutarakan Steven kepada ABC.
BACA JUGA: Perjumpaan Nenek-Cucu Setelah 5 Tahun Terpisah Akibat Rezim ISIS
Warga Depok, Jawa Barat, ini mengaku sebelumnya ia adalah pendukung Presiden petahana. Namun manuver politik yang dilakukan dalam 6 bulan terakhir membuatnya beralih ke gerbong golongan putih (golput).
"Pemerintahan Jokowi selama 4,5 tahun, saya lihat berusaha dengan sangat kuat menunjukkan citra Islam yang moderat."
BACA JUGA: Pengakuan Anak-anak Teroris ISIS Asal Australia
"Tapi kemudian tokoh yang dipilih jadi cawapres pendampingnya adalah tokoh yang mewakili apa yang disebut dengan gerakan-gerakan yang berpotensi sangat keras sekali," ujar pegawai swasta ini.
Ia mengatakan dirinya -sejatinya -tak peduli siapa pemenang Pilpres kali ini.
"Kalaupun Prabowo yang naik, dia bisa lihat dari 3 perbandingan, nomor satu nomor dua dan golput."
"Dia bisa melihat angka golput ini sangat tinggi sekali. Bahwa artinya ada yang salah meski anda menang."
Lain Steven, lain Suksma Ratri (44).
Ratri mengaku ia menjadi golput sejak puluhan tahun lalu. Ia terlanjur kecewa pada sistem politik Indonesia yang carut-marut. Terlebih, ia juga sudah muak menanggapi ajakan untuk memilih kandidat yang kurang buruk.
"Saya enggak mau melakukan 'vote for the lesser evil' (memilih yang kurang buruk di antara yang buruk). Itu yang selalu kita lakukan, vote for the lesser evil."
"Saya merasa rakyat enggak dikasih pilihan yang cukup untuk memilih."
Warga Jakarta ini mengatakan lima putaran debat yang, sedianya, digelar untuk mengetahui visi dan misi masing-masing kandidat juga membuatnya tetap bergeming.
"Enggak serta merta membuat saya tertarik dengan salah satu paslon (pasangan calon) karena jawabannya enggak ada yang logis buat saya."
Ajakan para pendukung paslon untuk memilih paslon idola mereka juga tak membantu. Menurut Ratri, sikap yang makin banyak dilihatnya menjelang hari pemungutan suara itu malah membuatnya kesal.
"Terus terang saja, buat yang sudah mantap (golput) paling cuma merasa terganggu saja."
"Tapi buat yang swinging voters, itu ngaruh ke keputusan mereka. Golput dinyinyirin tapi pengen diminta suaranya," keluh perempuan pegawai swasta yang hanya pernah menunaikan hak pilihnya dua kali ini.
Senada dengan Ratri, Cinta (bukan nama sebenarnya) juga tidak sepakat dengan ajakan memilih kandidat yang kurang buruk ketimbang menjadi golput.
"Lesser evil is still evil (kurang buruk tetaplah buruk). Lagipula saya juga enggak terlalu yakin yang mana yang lesser (kurang buruk)," tuturnya kepada ABC sembari tersenyum.
"Dua-duanya buat saya sama saja."
Bagi perempuan 31 tahun ini golput adalah sikap politik yang muncul dari kesadaran kritis dan pemikiran mendalam yang panjang.
"Saya melihat bahwa negara hari ini tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat."
"Kalau kami enggak golput dan diam saja, itu artinya kami enggak sayang sama negara. Artinya kami membiarkan negara berjalan seperti itu dan membiarkan pendapat bahwa Indonesia sedang baik-baik saja," ungkap pekerja sosial ini.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar, terang-terangan menyampaikan sikapnya sebagai golput. Di berbagai media, Haris mengaku pesimis penyelesaian kasus pelanggaran HAM terselesaikan di bawah rezim Jokowi maupun Prabowo.
Ia juga menilai latar belakang sipil dari salah satu kandidat bukan jaminan persoalan HAM selesai.
"Ya sama saja kalau Jokowi menang juga penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan kedepannya juga terbelakang."
"Sama saja. Makanya saya tidak memilih kedua-duanya."Terpaksa memilih
Leopold Sudaryono (44) mengaku dirinya adalah seorang golput tradisional sejak tahun 1997. Ia hampir tak pernah menggunakan hak suaranya, namun tak keberatan memilih jika terpaksa.
Seperti pada Pemilu tahun ini, Leopold akan 'turun gunung' untuk mencoblos karena ia menilai situasi Indonesia sudah genting.
"Mencegah yang terburuk berkuasa. Kontestasinya bukan hanya sekedar antara dua orang politis. Tapi antara dua pilihan paham yang punya konsekuensi besar dan permanen atas bangsa ini." Photo: Kandidat calon Presiden RI dalam Pemilu 2019: Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto (kanan). (AP: Tatan Syuflana)
Selama ini Leopold memilih untuk golput karena, menurutnya, sistem politik Indonesia menyebabkan pemilih tak bisa memilih calon terbaik.
"Selalu calon yang sudah disaring dan mengikuti kepentingan partai."
Sistem politik dan elektoral sekarang, kata mahasiswa doktoral Indonesia di Australia ini, menyebabkan siapapun kandidat yang terpilih akan memperjuangkan kepentingan partai atau basis pendukung.
"Saya menolak itu dan biasanya akan golput, tapi kali ini terpaksa memilih yang keburukannya terkecil," kata calon doktor bidang hukum dan kriminologi ini.
Penulis dan aktivis keberagaman, Feby Indirani, berpendapat golput dengan alasan ideologis dalam konteks Pemilu Indonesia saat ini membahayakan demokrasi.
"Karena memungkinkan kekuatan lama yaitu orde baru dan kelompok intoleran bangkit," ujar perempuan yang tengah menempuh studi di Inggris ini kepada ABC.
Golput dengan alasan politik atau ideologis, kata Feby, belum bisa memberikan solusi konkret dalam konteks demokrasi yang memiliki mekanisme Pemilu untuk menentukan Presiden dan legistaltif.
"Jadi apa yang membedakan mereka dengan golput yang tidak peduli atau tidak ideologis dalam konteks Pemilu? Suara mereka sama sama tidak ikut terhitung," paparnya.Lebih dari sekedar alasan ideologis
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Ikhwanudin, mengatakan, sebelum masyarakat Indonesia memberi konotasi buruk terhadap golput, ada baiknya definisi golput dijernihkan terlebih dahulu.
"Kita kadang-kadang menggunakan istilah golput campur dengan kecenderungan orang untuk tidak memilih dengan alasan apapun."
"Kalau kita pilah, ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan politik atau ideologis, ada alasan sebagai protes seperti tahun 71 itu. Itu yang pertama," jelasnya kepada ABC.
Ada pula pemilih yang tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara) atau tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan lain, yang bukan protes.
"Contoh misalnya karena alasan administratif, orang tidak sempat mengurus pindah TPS tapi karena dia alasan tugas dan sebagainya dia harus pindah TPS akhirnya tidak bisa nyoblos."
"Itu sebetulnya bukan sikap protes, itu harus dipilah."
Wawan juga mendefinisikan pemilih lainnya yang lebih mengkhawatirkan, yaitu mereka yang tidak datang ke TPS bukan karena alasan teknik atau politik.
"Tapi malas saja. Dia memilih liburan misalnya, tahun ini memang tanggalnya kurang menguntungkan. Hari jumat ada libur jelang Paskah."
Dalam survei nasional LIPI bulan Februari lalu, Wawan mengungkap, jumlah golput karena mereka benar-benar tidak ingin memilih sangatlah kecil.
"Sebenarnya orang Indonesia kalau ditanya 'apakah akan datang ke TPS kalau punya hak pilih dan tidak ada halangan apapun?', hampir seluruhnya mengatakan akan datang."
"Kemudian ketika ditanya 'apakah ketika datang ke TPS, memberikan suara itu akan memberikan dampak bagi terpilihnya pemimpin yang baik? Mayoritas mengatakan iya."
Ia menyimpulkan bahwa dalam alam bawah sadar orang Indonesia, sebetulnya voting atau datang ke TPS dan memberikan suara pada saat Pemilu adalah sesuatu yang baik atau norma yang baik.
"Mereka juga menganggap suara mereka itu berarti untuk terpilihnya pemimpin. Dan ketika ditanya golput dan orang yang menyuarakannya harus dilindungi haknya, justru ada proporsi yang signifikan, kalau enggak salah 30 persen angkanya, itu menyatakan tidak setuju."
Wawan mengatakan hal itu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih menempatkan aktivitas memilih sebagai sesuatu yang baik.
"Jadi masih menempatkan itu sebagai kewajiban dibanding hak. Golput itu dianggap sebagai orang yang tidak menunaikan kewajibannya bukan tidak menggunakan haknya."
Peneliti LIPI ini memaparkan persoalan hadir di TPS pada saat hari pemungutan suara nyatanya tak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.
"Kalau kita penelitian di daerah itu kita menemukan bahwa ternyata orang ada yang basis pengupahan mata pencahariannya itu harian. Contoh nelayan misalkan."
"Ketika dia harus stop satu hari, bayangkan berapa uang yang hilang?," tanya Wawan.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilih Cuma 24 Orang, Kotak Suara Pemilu 2019 di Korea Utara Diawasi CCTV