Ini Alasan Rieke Menjadikan Disertasinya Buku Berjudul 'Kekerasan Simbolik Negara'

Kamis, 23 November 2023 – 13:57 WIB
Anggota DPR RI F-PDIP Rieke Diah Pitaloka buku berjudul 'Kekerasan Simbolik Negara' dari hasil desertasi di Dapertemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Rabu (22/11). Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan Rieke Diah Pitaloka buku berjudul 'Kekerasan Simbolik Negara' dari hasil desertasi di Dapertemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, di Auditorium FISIP UI, Depok, Rabu (22/11).

Buku tersebut membahas kekerasan yang dilakukan negara, melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga, serta potensi riil perdesaan.

BACA JUGA: Rieke Ungkap Makna di Balik Lagu Yaa Lal Wathon

"Inilah poin penting yang dibahas dan saya tuangkan dengan bentuk menjadi buku dengan hasil analisis saya di tiga desa terkait persoalan data," ujar Rieke.

Dia menyebut keseluruhan desertasi dituangkan dalam buku yang merupakan deskripsi, analis, dan interpretasi atas data dan pendetaan predesaan.

BACA JUGA: Bereaksi Keras soal Palestina, Rieke: Kemerdekan ialah Hak Segala Bangsa

Adapun desa yang menjadi fokus analisis desertasi Rieke, diantaranya, Desa Sibandang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Desa Pantai Bakti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Desa Tegalalang, Kabupaten Gianyar.

Temuan penelitian Rieke dari tiga desa tersebut mendapati data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi.

Rieke menegaskan, data direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down tidak melahirkan kesinambungan data.

"Inilah yang menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat, dan relevan (pseudo data)," cetusnya.

Namun, sesal dia, data yang bermasalah itu tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun, karena prosesnya berpedoman pada aturan perundang-undangan.

Dia menyebut peristiwa itu sebagai kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, memaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan.

"Hasil penelitian saya menunjukkan kebijakan rekonsiliasi dan the vicious circle kebijakan rekonolisasi yang mengkonfirmasikan terbuktinya hipotesis. Artinya, semakin kuat dosa kekerasan simbolik pada norma yuridis pendataan," terangnya.

Oleh karena itu, Rieke berharap hasil desertasi yang sudah menjadi buku ini dapat dijadikan referensi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan pembangunan sistem kebijakan publik berdasarkan pendataan desa berbasis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Jika pemerintah melakukan hal tersebut sangat memungkinkan lebih banyak ruang untuk komunikasi dan partisipasi warga desa dalam melakukan pendataan," imbuhnya.

Rieke juga berharap bukunya dapat mengakhiri kekerasan simbolik negara terhadap pedesaan yang beroperasi melalui norma yuridis pendetaan pedesaan.

Dia juga mengatakan, hasil desertasinya ini memperlihatkan bahwa data yang diproduksi dengan pendekatan buttom up sangat dibutuhkan untuk mengakhiri kebijakan rekonsiliasi menjadi kebijakan afirmatif negara.

Kebijakan afirmatif ini merupakan implementasi amanat konstitusi untuk mencapai lima aspek kesejahteraan rakyat.

"Kebijakan konstitusional bukan hanya tentang menyelamatkan triliunan uang rakyat di kas negara, kebijakan negara yang berbasis pada data pedesaan yang akurat dan aktual, sesungguhnya tentang nasib dan nyawa jutaan rakyat, ini yang saya tekankan dalam buku ini,'' tandas Rieke.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler