Ini Cara KPAI Tangani Anak yang Terkena Radikalisme

Selasa, 06 September 2016 – 13:20 WIB
Ilustrasi. Foto: Ist

jpnn.com - JAKARTA –  Pendidikan antiradikalisme kepada generasi muda lebih efektif  diajarkan melalui hal nyata dan mengandung unsur kekinian. Keluarga dan pendidikan dasar adalah landasan serta benteng untuk mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan cinta damai.

“Keluarga adalah benteng perlindungan anak. Dalam keluarga terdapat mengajaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan cinta damai. Karena itu orang tua harus membekali anak soal ini sejak kecil, karena keluarga adalah dasar sekaligus benteng untuk hal-hal negative termasuk radikalisme,” kata ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh, Selasa (6/9).

BACA JUGA: Anggaran TPG 2017 Capai Rp 56,7 Triliun, Guru jadi Konsumtif?

Selain itu, pendidikan juga penting untuk melawan faham-faham seperti itu. “KPAI akan secara khusus melakukan penanganan anak yang terpapar ideologi terorisme dengan pendekatan preventif dan reedukasi,” katanya.

KPAI menurut Asrorun sangat menaruh perhatian pada penanganan anak-anak di bawah umur yang terpapar radikalisme dan terorisme.

BACA JUGA: Mendikbud Gulirkan Wacana Sabtu Minggu Libur Sekolah

“Penanganan anak yang terpapar ideologi terorisme tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan keamanan semata, karena harus melalui pendekatan pendidikan. Kita menginginkan paparan radikal dan terorisme tidak masuk ke anak-anak dan tidak menjadi bibit-bibit baru untuk terorisme di masa depan,” kata Asrorun.

Sementara itu, penggiat perdamaian dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan bahwa nilai-nilai tentang perdamaian dan cinta kasih sangat kena di hati anak-anak dan remaja melalui aksi-aksi nyata.

BACA JUGA: Waspada! Marak Beasiswa Abal-abal

“Nilai-nilai luhur dan pendidikan kebangsaan bagi saya itu tidak ditanamankan lewat upacara atau jargon-jargon tapi dengan melakukan kerja-kerja pelayanan masyarakat misalnya siswa didorong terlibat aktif membersihkan sampah di sekitar lingkungan sekolah, atau keluarga mendorong mereka untuk mewakafkan waktu mereka untuk berbagi dengan anak-anak yang tidak lebih beruntung dari mereka,” katanya.

“Atau membuat narasi alternatif perdamaian di media sosial. Saya tidak suka upacara tapi saya kira saya tidak lantas menjadi radikal bukan? People learn more from concrete experience. Itu intinya,” kata pria yang juga pembuat film documenter Jihad Selfie.

Narasi alternatif di media sosial menurut Noor Huda, sangat penting untuk pengajaran soal nilai-nilai baik dan mengimbangi narasi radikal.

“Dalam pola perekrutan baru ini, mereka hanya terhubung karena kesamaan imajinasi melalui Internet, terutama media sosial. Ini bukan berarti pelaku kekerasan hanya terpapar oleh media sosial, kemudian terlibat sebuah aksi. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat komunal ini, pertemuan fisik dengan pelaku yang lain masih sangatlah diperlukan. Media sosial itu hanya mempercepat dan mempermudah proses radikalisasi pelaku,” kata Huda.

Seperti halnya gerakan sosial-politik yang lain, kelompok kekerasan pun menggunakan Internet untuk penggalangan dana serta membangun loyalitas kelompok yang berawal dari pertemanan online menjadi brotherhood atau bahkan perjodohan.

Media mereka pun lebih eye catching (memikat) dibandingkan dengan media yang diproduksi oleh negara. Secara berkala, laman-laman situs mereka pun diperbarui dengan berita-berita yang provokatif.

Kondisi ini menurut Noor Huda diperparah dengan rendahnya "melek digital" atau kemampuan membaca secara kritis informasi yang berseliweran di media digital. Maka, serangan amatiran terhadap pastor di Medan itu harus menjadi peringatan serius bahwa, untuk melawan radikalisasi pola baru ini tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh negara, tapi diperlukan juga kerja sama semua pihak.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menggalakkan "melek digital" di kalangan anak muda agar mereka tidak terus menjadi korban dari kampanye kebencian yang tumpah-ruah di ranah media sosial kita.

Sasaran empuk rekrutmen kaum radikal, menurut  Huda adalah para anak muda yang masih labil mencari jati diri dan individu yang termarginalkan secara sosial, politik, dan budaya.

Marah terhadap realitas pedih kehidupan, mereka pun merelakan diri menjadi martir bagi sebuah kelompok yang mengusung jargon-jargon agama yang bombastis, seperti membangun peradaban baru di bawah naungan khilafah Islam. Mereka berprinsip "hidup mulia atau mati syahid".

“Sampai sekarang, masih sangat sedikit upaya secara sistematis untuk melakukan ‘narasi tandingan’ terhadap propaganda kelompok-kelompok ini. Hal ini terdengar basi, tapi itu adalah fakta penting yang perlu segera disikapi dalam jangka waktu dekat, mengingat sudah ada beberapa kasus beberapa anggota organisasi Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, yang loncat pagar dan bergabung dengan kelompok kekerasan,” katanya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Profesi Sejarawan Bakal Disertifikasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler