Ini Daftar Pekerjaan Rumah Jokowi-JK di Sektor Ekonomi

Senin, 01 Januari 2018 – 12:14 WIB
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2018 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/12). Foto: Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menyampaikan sejumlah catatan kritis sebagai refleksi akhir tahun bidang ekonomi untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Setidaknya ada delapan poin yang dia harapkan bisa menjadi bahan perenungan bagi pemerintah.

BACA JUGA: Empat Catatan Penting Hukum Indonesia di 2017

Pertama, kemiskinan yang terus mengancam bangsa Indonesia yang kaya raya ini.

Ekonomi yang dibangga-banggakan tetap belum mampu membebaskan rakyat dari jurang kemiskinan.

BACA JUGA: 107 Ribu Kendaraan Bakal Kembali ke Jakarta

Terbukti, pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen).

Angka itu bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen).

BACA JUGA: Lalin GT Cikarang Utama Terpantau Lancar, Jalur Puncak?

Akar masalahnya, menurut politikus asal Jawa Barat ini, ada pada sistem ekonomi yang dipakai pemerintah selama ini. Sistem itu tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan.

"Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan. Faktanya, kemiskinan tetap tumbuh subur. Per Maret 2017, menurut BPS, jumlah orang miskin bertambah sebesar 6900 jiwa," ujar Heri.

Kedua, angka ketimpangan yang masih bertengger di kisaran 0,39. Itu adalah angka yang masih berstatus waspada dan berarti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan secara total.

Postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak, kemakmuran untuk semua.

Faktanya, hanya ada 1% orang yang menguasai 39% pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari 2% orang telah menguasai lebih dari 70% tanah di Republik ini.

Ketiga, ekonomi nasional tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06 persen tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen.

Itu terjadi signifikan pada kelas masyarakat menengah ke bawah yang proporsinya sebesar 80 persen.

Tertekannya daya beli itu lalu berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka 5 persen, industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7 persen.

"Ini terungkap dalam Survei Nielsen yang disebut-sebut sebagai pertumbuhan paling rendah dalam 5 tahun terakhir. Survei itu mengungkap bahwa distorsi daya beli tidak terjadi pada masyarakat kelas atas yang jumlah tak lebih dari 20 persen. Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan sekarang belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum," tutur politikus Gerindra ini.

Keempat, ambisi pemerintah membangun infrastruktur masih tercium di dalamnya jejak mengorbankan sektor lain.

Bahkan, sebagian dibiayai lewat skema utang yang ujungnya berdampak pada defisit anggaran.

Pemerintah, menurutnya, harus sadar bahwa defisit cenderung meningkat. Penyebabnya adalah realisasi belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan Negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen.

Kelima, pemerintah tetap harus prudent dalam mengelola belanja dan utang.

Apalagi kelihatannya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan.

Defisit yang makin naik tersebut yang mengakibatkan jumlah utang naik akan menyulitkan terwujudnya keseimbangan primer yang positif.
Pada postur 2018 saja disebutkan bahwa pendapatan Negara sekitar 14 persen terhadap PDB, sedangkan belanja bisa mencapai 16 persen terhadap PDB. Gap tersebut akan menjadi masalah serius.

"Utang masih terus menjadi beban. Pemerintah yang sepertinya terlena oleh rasio utang, makin kalap menumpuk utang," tukas Heri dalam poin keenam catatan kritisnya.

Kalau dilihat dari trennya, rasio utang cenderung mengalami kenaikan.

Pada 2014 sebesar 24,7 persen, tahun 2015 naik tajam ke 27,4 persen.

Lalu pada 2016 menjadi 27,9 persen, kemudian 2017 ada di angka 28,2 persen.

Sementara itu, pada 2018 diproyeksi bisa menyentuh angka 29 persen terhadap PDB.

Data tersebut tidak memperlihatkan adanya kecenderungan utang dengan kenaikan yang menurun sebagaimana yang disebut-sebut.

Utang tersebut, menurutnya, sudah pasti akan menjadi APBN. Lebih-lebih dengan berakhirnya Program Pengampunan Pajak membuat pemerintah akan makin sulit merealisasikan penerimaan negara yang lebih baik.

Sementara itu, beban jatuh tempo pembayaran utang makin besar.

Pada 2018 nanti sebesar Rp 390 triliun, dan ketika di 2019 akan ada di kisaran Rp 420 triliun.

Total keseluruhan pada pembayaran jatuh tempo mencapai Rp 810 triliun.

Pada poin ketujuh catatannya, ketua DPP Gerindra ini menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen penerimaan Negara bersumber dari pajak.
Sementara itu, realisasinya terus melenceng dari rencana. Tahun 2015, realisasinya hanya Rp1.285 triliun atau melenceng dari target APBN-P sebesar 1.489 triliun.

Tahun 2016 juga melenceng dari target APBN-P TA 2016 sebesar Rp 1.539,2 triliun.

Pada saat yang sama, tax ratio Indonesia adalah yang terendah di dunia, yakni hanya 11 persen.

Jika dilihat lebih detail realisasi penerimaan pajak juga mengalami penurunan di kisaran 2,79.

Dengan kondisi itu sudah pasti pemerintah akan terus mengalami kesulitan memenuhi target penerimaan pajak.

"Ketika pemerintah terus bersandar pada pajak sebagai sumber penerimaan terbesar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, maka akan terus APBN terancam. Beban utang plus bunga yang jatuh tempo, hanya menunggu waktu untuk meletus dan membawa kita pada situasi kolaps," tegas dia.

Terakhir, pemerintah masih terus menghadapi banyak tantangan dalam hal perpajakan.

Sebagai misal, realisasi Pajak Migas yang menurun. Tahun 2016 realisasinya hanya mencapai Rp 44,9 triliun atau hanya 65,3 persen dari APBN-P TA 2016.

Sementara itu, realisasi PPh Migas cenderung sulit meningkat karena melemahnya harga komoditas di pertengahan tahun 2017 ini.

Di sisi lain pelaksanaan reformasi perpajakan nasional yang belum maksimal akan berakibat pemasukan pajak rendah dan utang yang menumpuk.

"Ke depan, pemerintah harus berani melakukan koreksi atas kebijakan yang mereka susun. Jejak-jejak pahit di tahun 2017 harus segera ditanggalkan. Pemerintah harus terus mengevaluasi efektivitas defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal ekspansif. Belanja infrastruktur tetap harus dikontrol dan berdampak langsung pada ekonomi riil masyarakat," katanya menyarankan.

Kemudian, pemerintah harus tegas menetapkan kriteria atau prasyarat suatu program atau proyek yang boleh dan tidak boleh dibiayai utang.

Di samping untuk menjamin produktivitas, juga harus mampu mengembalikan beban bunga dan cicilan utang.

"Utang masih tersedot pada belanja infrastruktur, meski pada perlindungan
sosial juga naik. Sementara itu, sektor riil lain seperti pertanian, industri pengolahan, maupun transportasi dan komunikasi masih belum maksimal. Karenanya ke depan, utang harus diarahkan pada sektor-sektor produktif tersebut," pungkas dia.(fat/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Tahun Baru, 86 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jakarta


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler