Ini Episode yang Hilang dari Buku Sejarah Indonesia?

Senin, 30 Januari 2017 – 18:07 WIB
Pecinan di Batavia pada zaman kolonial. Foto: Dok.KITLV.

jpnn.com - LASKAR Tionghoa dan Jawa bersekutu. VOC nyaris tersingkir. Perang dari ujung ke ujung pulau Jawa ini melahirkan Dinasti Yogyakarta dan Mangkunegaran.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Adem, Warga Tionghoa Berterima Kasih Kepada Ormas Islam

Oktober 1740. Batavia, ibukota Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) rusuh. Tiga hari berturut-turut. Orang Cina dibantai atas perintah Kompeni.

"Korban tewas diperkirakan mencapai 10 ribu jiwa," tulis Iwan "Ong" Santosa dalam Perang Terbesar Melawan VOC, Modal Sosial Membangun Indonesia--catatan editor buku Geger Pacinan.

BACA JUGA: Novanto: Imlek Momentum Membangun Kebersamaan

"Jumlah tersebut sangatlah besar," sambung wartawan yang juga penulis sejumlah buku sejarah, antara lain Tarakan--Pearl Harbor Indonesia dan Pasukan M--Pertempuran Laut Pertama dalam Sejarah RI.

Mengingat jumlah penduduk Jawa, merujuk buku Conquest of Java di awal 1811, belum lagi genap lima juta jiwa.

BACA JUGA: Tradisi Leluhur, Barongsai Blusukan ke Lorong Kampung

Dia membandingkannya dengan Pertempuran 10 November 1945 yang berlangsung beberapa pekan di Surabaya. Melansir catatan Des Alwi, jumlah korban di pihak Republik diperkirakan 12 ribu jiwa. Ketika itu jumlah penduduk Indonesia, sekitar 70 juta jiwa.

"Ditinjau dari segala sisi, Perang Sepanjang (1740-1743) jauh lebih besar dari skala Perang Diponegoro (1825-1830) yang justru mendapat lebel Perang Jawa," paparnya.

Perang Sepanjang

Dipimpin Kapitan Sepanjang, orang Tionghoa pun berlawan.

Daradjadi menggambarkan pertempuran demi pertempuran yang dikobarkan laskar Tionghoa melawan VOC itu dengan sangat kolosal dalam buku Geger Pacinan.

Ketika Susuhunan Pakubuwono II dari Mataram mendengar bahwa orang Tionghoa berani menyerbu Batavia, disebutkan bahwa dia merasa terkejut karena…

"Tionghoa diidentikkan dengan wanita, yang tidak memiliki kekuatan sendiri dan hanya cocok untuk perdagangan serta untuk menjaga gerbang tol saja," tulis Nagtegaal dalam Riding the Dutch Tiger.

Perang menjalar. Dipukul di Batavia, pasukan Kapitan Sepanjang membakar Jawa.

Dari Batavia perang meluas ke Karawang, Cirebon, pesisir Pantura-Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Rembang hingga Lasem, Tuban, Surabaya hingga Pasuruan.

Merembet pula ke daerah pedalaman Mataram. Dari wilayah yang kini dikenal sebagai Yogyakarta, Surakarta, Banyumas hingga Pacitan-Madiun-Malang.

Bersama rakyat Mataram yang sudah muak dengan kompeni, Sunan Pakubuwono II berpihak pada aliansi Tionghoa-Jawa.

Namun kemudian, dia berbalik arah dan bergabung dengan Kompeni.

Apa boleh buat, "para pejuang Tionghoa-Jawa ternyata mampu meluluhlantakkan Keraton Pakubuwono II di Kartasura dan mereka mengangkat Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai raja," tulis Daradjadi.

Dikisahkan, panglima Jawa yang ikut dalam perang ini, di kemudian hari tampil sebagai pemimpin dinasti baru.

Pangeran Mangkubumi yang tadinya berperang di pihak aliansi Tionghoa-Jawa menarik pasukan. Kemudian mendirikan Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Begitu pula dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa yang setelah perang itu mendirikan Dinasti Mangkunegaran.

"Kelak di wilayah Yogyakarta dan Mangkunegaran dikenal sebagai motor penggerak serta modernisasi Jawa," ungkap Iwan Ong.

Bahkan medio 1800-an, sambung dia, Mangkunegara IV dikenal sebagai reformis dan tokoh enterpreneur Jawa terkaya di zamannya.

"Mangkunegara IV juga menyediakan layanan kesehatan gratis serta terobosan di bidang pendidikan di wilayah Pradja Mangkunegaran yang kini menjadi sebagian wilayah Surakarta modern," tutur Iwan Ong yang juga penulis buku Legiun Mangkunegaran.

Babak yang Hilang

Sunan Kuning yang masih bersetia memerangi VOC bersama Kapitan Sepanjang tertangkap dalam sebuah pertempuran.

"Setelah beberapa hari ditahan di Surabaya, dibawa ke Semarang. Para pengikutnya dieksekusi. Sunan Kuning dibawa ke Batavia untuk selanjutnya dibuang ke Sri Lanka," tulis Daradjadi.

Setelah terpisah dengan Sunan Kuning, Kapitan Sepanjang beserta pasukannya ke Timur menuju Blambangan dan menyerang pos-pos VOC.

Tapak-tapak wilayah yang pernah menjadi arena pertempuran ini masih bersisa hingga sekarang. Satu di antaranya cirinya, wilayah itu memakai nama pimpinannya.

Di Semarang ada Kampung Panjangan. Desa Sepanjang dapat dijumpai di Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar.

Di Selatan Surabaya ada juga daerah Sepanjang. Dan di Banyuwangi, wilayah terakhir pasukan Kapitan Sepanjang di pulau Jawa, juga ada kampung bernama Sepanjang.

Setelah terusir dari Jawa, Kapitan Sepanjang berkelana di pulau Bali. "Ia terlihat terakhir kali di muka umum pada 1758 di Istana Gusti Agung, Bali. Setelah itu, ia menghilang tiada rimbanya," tulis Daradjadi.

Budayawan Didi Kwartanada dalam Bukan Incorrigible Opportunists, Melainkan Kawan Seperjuangan--sebuah pengantar untuk buku Geger Pacinan menyayangkan hilangnya babak sejarah yang ini dalam buku pelajaran sejarah.

Menurut dia, pada masa Bung Karno, episode sejarah tersebut masih muncul dalam buku teks sejarah. Misalnya, karya Soeroto, Indonesia dan Dunia: Peladjaran Sedjarah untuk SMP djilid 2 (Djakarta: Tiara, 1961).

Bahkan, lanjut Didi, buku Sedjarah Nasional yang diterbitkan Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru di Bandung (1953) menyebut episode tersebut sebagai Revolusi Tahun 1740-1743.

"Namun, dalam masa Orde Baru, kepada para murid tidak lagi diajarkan kisah perjuangan bahu-membahu melawan penjajah yang cukup penting artinya bagi nation building kita tersebut," tulis Didi. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ki Kusumo, Imlek, Pilkada DKI dan Wanita-wanita Cantik


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler